|
Harian The New York Times punya alasannya ketika menobatkan Jeffrey D Sachs (50) sebagai ekonom terpenting di dunia saat ini. Ia dikenal kritis terhadap Pemerintah AS. Meski demikian, pendapatnya bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan penghapusan utang, bantuan luar negeri, dan investasi tak sejalan dengan banyak akademisi dan aktivis. Sachs dijumpai Kamis (4/8) di Hotel Hilton Jakarta, di sela kesibukannya dalam Pertemuan MDGs (Millenium Development Goals/Tujuan Pembangunan Milenium) Tingkat Menteri se-Asia-Pasifik di Jakarta. Dia sudah 17 minggu di perjalanan. Indonesia adalah negara ke-15 yang ia kunjungi, kata asistennya. Berikut petikan wawancara seputar MDGs dan pandangannya mengenai pengurangan kemiskinan. Anda melakukan advokasi pengurangan kemiskinan, bagaimana Anda mendefinisikan kemiskinan? Kemiskinan punya banyak dimensi yang tidak bisa ditangkap hanya dari pendapatan (per kapita). Kemiskinan berarti kurangnya akses ke kebutuhan dasar, pelayanan kesehatan, pendidikan dasar, infrastruktur dasar seperti sanitasi dan air bersih. Aspek-aspek MDGs mencakup itu semua. Pembangunan berkelanjutan konsepnya luas, dengan begitu banyak aspek; ekonomi, kehidupan sosial dan lingkungan. Kalau orang hidup dalam lingkungan yang tercemar, kita tak bisa mengatakan itu pembangunan. Anda menekankan kemitraan dalam pencapaian MDGs. Bagaimana bisa bekerja sama bila posisi pemangku kepentingan di dalamnya tidak seimbang? Salah satu kuncinya adalah negara kaya memenuhi janjinya memberi 0,7 persen Produk Domestik Brutonya untuk pembangunan di negara berkembang. Tetapi, itu tak pernah dipenuhi. Negara saya, AS, hanya memberi 0,16 persen PDB, padahal menggunakan 5 persennya (sekitar 450 miliar dollar ASRed) untuk militer. Mereka ingin membeli keamanan, tetapi mengesampingkan akibat lebih dalam dari ketidakstabilan global dengan hanya mengalokasikan sepertiga puluh dari jumlah itu (15 miliar dollar ASRed) untuk pembangunan di negara dengan kemiskinan ekstrem. Tidak ada keamanan tanpa pembangunan. Ini penting diketahui negara kaya supaya mau memenuhi komitmennya. Proyek Milenium berusaha mengikat negara maju untuk itu. Bagaimana menyeimbangkan posisi antara sektor swasta, termasuk perusahaan multinasional (MNC), masyarakat, dan pemerintah, supaya tercapai win-win solution? MNCs dapat memberi dukungan positif pada pembangunan bila hubungan antara pemerintah tuan rumah dengan MNCs sangat transparan. Khususnya di industri ekstraktif: pertambangan, minyak dan gas bumi yang rentan pelanggaran, degradasi lingkungan dan kontrak finansialnya tidak baik. Perusahaan harus jujur mengumumkan jujur berapa uang yang dibayarkan, bagaimana konsesinya, dan lain-lain. Jadi tidak perlu peraturan internasional mengenai akuntabilitas korporasi? Saya percaya pemerintah tuan rumah dapat menggunakan kekuasaannya secara efektif. Banyak negara bisa melakukannya. Bisa saja terjadi korupsi, tetapi korupsi juga terjadi di AS. Dibutuhkan perhatian media, keterbukaan masyarakat, kesadaran dan kepekaan akan kemungkinan pelanggaran. Anda menyinggung pertumbuhan yang pro-poor. Pertumbuhan yang seperti apa, karena banyak perdebatan, khususnya tentang peran swasta dalam MDGs? Pertumbuhan yang pro-poor, pertama-tama berarti produktivitas yang tinggi di tingkat dunia. Ini sudah dimulai 40 tahun lalu dengan Revolusi Hijau. Petani menghasilkan lebih banyak pangan karena teknologinya ditingkatkan. Ekspor manufaktur berjalan baik sehingga membuka lapangan kerja, meningkatkan standar hidup. Banyak negara Asia berhasil di situ. Pertumbuhan pro-poor secara krusial juga berarti investasi di sektor publik, di bidang kesehatan dan pendidikan, juga infrastruktur dasar, seperti air bersih dan sanitasi. Karena pertumbuhan pro-poor dikendalikan pasar, sektor swasta harus mendukung dengan berinvestasi di bidang-bidang yang dibutuhkan orang miskin. Itu semua ditambah penghapusan utang dan bantuan luar negeri, tampaknya pendekatannya sangat neoliberal? Saya tak suka label-label khusus. Yang terbaik adalah apa yang bisa dilakukan agar terjadi tindakan bersama antara sektor publik dan sektor privat dalam strategi penghapusan kemiskinan. Kita melakukan pendekatan pasar untuk perdagangan, industrialisasi dan pembangunan sektor pelayanan publik, peran sektor publik di bidang pendidikan, infrastruktur dan manajemen lingkungan bagi orang miskin. Saya kira ini merupakan pendekatan seimbang antara pasar dan sektor publik. Bagaimana membiayai infrastruktur bila sistem perdagangan bebas tidak adil untuk negara berkembang? China melakukannya mulai tahun 1978. Ketika membuka ekonominya, negara itu sungguh-sungguh miskin. Sejak lebih 10 tahun terakhir pertumbuhannya mencapai 10 persen per tahun. Standar hidup meningkat. Jumlah orang miskin menurun tajam. Bagaimana membiayai semua ini? Pertama, masuknya banyak investasi asing langsung dalam industri manufaktur. Pasarnya cukup terbuka sehingga ekspornya meningkat dari 20 miliar dollar AS tahun 1980 menjadi lebih 600 miliar dollar per tahun saat ini. Sistem perdagangan sudah terbuka meski ada persoalan dalam keadilan, ada keanehan-keanehan, dan banyak politik di dalamnya. Pendanaan dapat dilakukan melalui tiga cara. Pertama, bantuan pembangunan untuk negara miskin, seperti hibah dan pinjaman lunak. Kedua, melalui pemasukan modal. Ketiga, melalui tabungan domestik, publik maupun swasta. Pembangunan melibatkan semua itu. India melakukan hal yang sama saat ini. Bagaimana dengan Afrika? Afrika tak bisa bergantung pada sektor swasta. Afrika lebih banyak membutuhkan Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) dan penghapusan utang. Apakah laporan Anda memaparkan akar kemiskinan? Tentu saja. Laporan kami terdiri dari 14 volume, 2.700 halaman, dan buku saya 385 halaman di edisi paper back, meringkasnya. Geografi adalah hal pertama. Negara dengan bentang darat yang rentan kekeringan, kesulitan transportasi, tanahnya miskin hara, dan kekurangan sumber daya energi, akan tertinggal jauh. Negara dengan peraturan yang buruk, infrastruktur lemah, pendidikan rendah, wilayah perbatasan tidak aman, juga akan sulit (berkembang). Negara yang strateginya buruk, diperintah tiran, korup dan kejam, akan lebih buruk dibandingkan yang sebaliknya. Transisi demografi sangat berperan. Negara yang pertumbuhan penduduknya tinggi menghadapi lebih banyak persoalan dibanding yang lambat. Kemudian juga tergantung pada peran perempuan dalam masyarakat, bagaimana pendidikan anak perempuan, berapa besar diskriminasi terhadap perempuan dan lain-lain. Dalam buku saya, saya bicara proses differential diagnosis; mendiagnosis masalah, mungkin di kebijakan, sumberdana, diskriminasi terhadap minoritas, perempuan, soal malaria, AIDS, dan lain-lain. Dengan itu bisa dibuat perencanaan. Biayanya bisa dihitung. Tidak sederhana dan tak ada resep tunggal? Tidak ada solusi sederhana. Prosesnya rumit. Seperti dokter, menghadapi pasien panas tinggi, dan harus mendiagnosisnya, karena sebabnya bisa ratusan. Juga tidak ada resep tunggal. Setiap negara berbeda. Kondisi lokal menentukan pendekatan yang akan digunakan. Yang sama adalah tujuannya (dari MDGs). Bagaimana Anda melihat MDGs di Indonesia? >is 24096m, Kenapa Anda tertarik soal kemiskinan? Saya menghabiskan waktu saya untuk isu ini. Saya bekerja di lebih 100 negara, secara khusus di empat negara, selama 20 tahun terakhir. Saya melihat begitu banyak penderitaan. Saya frustrasi melihat anak-anak yang meninggal dalam kondisi yang sebenarnya bisa diselamatkan. Salah satu solusi Anda adalah bantuan dari luar. Utang negara berkembang 30 tahun terakhir ini malah berlipat ganda. Sudah 20 tahun saya berkampanye untuk penghapusan utang. Kalau negara miskin secara konsisten terus bersuara, mereka punya kekuatan yang besar. Bagaimana kalau utang yang dulu digunakan secara tidak benar? Saya tidak mau masuk ke perdebatan panjang tentang masa lalu. Kalau bicara soal utang, bisa saling menyalahkan. Ada negara dengan utang banyak, tetapi dapat keluar dari krisis dan dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Kita belajar dari masa lalu, tetapi jangan terus melihat ke belakang. Anda mengenal baik Amartya Sen (ekonom pemenang Nobel Ekonomi 1998)? Tentu saja. Penekanan kita pada beberapa hal berbeda. Tetapi, kami berteman baik dan saya banyak berutang padanya.Oleh: Maria Hartiningsih dan Ninuk M Pambudy Post Date : 07 Agustus 2005 |