Jawa Minus Air Pada 2025!

Sumber:Majalah Gatra - 23 Desember 2009
Kategori:Air Minum

Pasokan air terus menyusut dan tinggal separuh pada 2025. Daerah yang bergantung pada curah hujan paling parah. Bisa memicu konflik horizontal.

Untuk mendapatkan air bersih, Samini, 31 tahun, harus rela berjalan satu setengah kilometer. Menggunakan jeriken 10 literan, dari sumber mata air (belik) Kedondong, dia memenuhi kebutuhan air bersih keluarganya. Perjuangan warga Desa Kalirejo, Kebumen, Jawa Tengah, itu terjadi setiap kali kekeringan melanda desanya, Juli hingga September.

Kalirejo hanyalah satu desa dari 91 desa yang mengalami kesulitan air di musim kering. Sehingga pihak Kabupaten Kebumen harus mengirim air bersih ke desa-desa yang tersebar di 16 kecamatan itu. Kekeringan telah menjadi momok bagi wilayah Jawa. Seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk, kebutuhan air pun semakin melonjak.

Ketika banyak dibutuhkan, pasokan air terasa kian tekor. Pada saat ini, total potensi sumber daya air di Jawa masih mampu memasok air 1.500 meter kubik per kapita per tahun. Diperkirakan, pada 2015, hanya mampu memasok air 450 meter kubik per kapita per tahun. Puncaknya, pada 2025, potensi air di Jawa tinggal 320 meter kubik per kapita per tahun. "Di bawah yang ditetapkan PBB," kata Mohammad Ikhwanuddin Mawardi, dalam pidato pengukuhan profesor riset bidang hidrologi dan onservasi tanah di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Rabu pekan lalu, kepada Sandika Prihatnala dari Gatra.

Dengan demikian, pada 2025, hanya separuh penduduk Pulau Jawa yang bisa mendapat pasokan air cukup. Potensi air di Jawa, menurut Ikhwanuddin, terus menurun sekitar 1,2% per tahun. "Jadi, dari 1930 sampai tahun 2000 ada penurunan sekitar 70%," katanya. Pada 1930-an, Jawa masih sanggup memasok air 4.700 meter kubik per kapita per tahun.

Dari perhitungan itulah ditemukan bahwa pada 2025, potensi air di Jawa tinggal 320 meter kubik per kapita per tahun. Perhitungan ini diambil dengan gambaran kondisi lingkungan yang relatif sama dengan perhitungan sebelumnya. "Kalau semakin rusak, penurunan pun semakin meningkat," ujarnya. Bahkan bukan tidak mungkin Jakarta akan menjadi gurun jika melihat tandanya, yaitu pada musim kemarau kekeringan, sedangkan pada musim hujan banjir. "Ini terjadi karena air sama sekali tidak meresap," ia menambahkan.

Penurunan potensi air akan berdampak langsung pada kehidupan warga di Jawa. Jika dengan penurunan seperti itu tidak ada upaya apa pun, dampaknya akan semakin parah. "Sekarang saja sudah terlihat. Setidaknya dari sisi kebutuhan lahan, Jawa pada saat ini sudah kelebihan penduduk sebanyak 81,1 juta jiwa," katanya. Sedangkan dari sisi kebutuhan air telah kelebihan 40 juta. Sehingga, pada 2025, jika mengacu pada pendekatan kebutuhan lahan, akan kelebihan sekitar 128,8 juta.

Sedangkan dari sisi kebutuhan air telah elebihan sekitar 84,7 juta. "Ini artinya, pada saat musim-musim kemarau, bisa sangat terasa bahwa di Jawa akan kekurangan pasokan air," tuturnya.

Kekurangan itu terjadi karena air sama sekali tidak tersimpan dengan baik di pori-pori tanah. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang, Pasal 29 menyebutkan bahwa syarat ruang terbuka hijau di wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. "Jakarta pada saat ini hanya 11%," katanya.

Ikhwanuddin menyampaikan temuannya kepada publik agar masalah lingkungan itu dapat segera diatasi. "Ini tanggung jawab saya sebagai profesi dan individu," ujarnya.

Dalam pemaparan penelitian itu, setidaknya ia menyampaikan delapan upaya penanggulangan yang harus dilakukan pemerintah (lihat: Jurus Menyelamatkan Jawa). Menurut dia, pemerintah harus serius menanggapi hal itu, karena air merupakan kebutuhan vital. "Kalau tidak segera, sama saja menenggelamkan Jawa," katanya.

Sebagai peneliti, kapasitasnya sebatas menyampaikan dan mengawal agar hasil penelitiannya bisa segera dilaksanakan. Posisinya sebagai eselon I di Badan Perencanaan dan Pembangungan Nasional (Bappenas) turut membantu dalam proses pengambilan kebijakan di bidang terkait. "Kami berbuat di lingkungan kami. Selain itu, juga menyampaikan kepada orang lain," ungkapnya.

Dia mengaku telah beraudiensi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida S. Alisjahbana, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini, serta Menteri Riset dan Teknologi H. Suharna Surapranata. Tanggapan positif muncul dari Menteri PDT, yang memiliki program pembangunan daerah tertinggal di kawasan timur. "Sumber daya di luar Jawa sebenarnya banyak, tetapi kenapa masih saja berkecimpung di Jawa?" katanya.

Menanggapi soal krisis air di Jawa itu, Armi Susandi, Ketua Program Studi Meteorologi ITB, menyatakan bahwa ketersediaan air di suatu tempat setidaknya ditentukan oleh tiga hal, yaitu jumlah penduduk, penggunaan lahan, dan jumlah air yang terinfiltrasi (terserap) ke dalam tanah. Air yang diinfiltrasi ke dalam tanah dapat berupa air permukaan yang berasal dari hujan, air sungai, atau air laut.

Jika diteliti lebih dalam, wilayah yang ketersediaan airnya bergantung pada jumlah curah hujan merupakan wilayah yang rentan. Awal musim hujan dapat bergeser mundur, sehingga menyebabkan kekeringan yang panjang. "Saya prediksi, di masa mendatang, jumlah penduduk Jawa yang semakin meningkat, disertai penggunaan lahan yang juga meningkat, akan memperparah kondisi kelangkaan air di Jawa," ujarnya.

Menurut Armi, proyeksi jumlah penduduk sebesar 181,5 juta jiwa merupakan skenario terburuk. Badan Pusat Statistik memprediksi, penduduk Jawa pada 2025 dapat mencapai 151.468 jiwa. Kepadatan penduduk itu mempersempit lahan untuk infiltrasi air hujan, air sungai, dan air laut. "Akibatnya, dapat dipastikan ketersediaan air tanah semakin menipis di masa mendatang," ia menegaskan.

Kelangkaan airberdampak buruk pada kehidupan masyarakat. Karena air merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, penurunan konsumsinya akan mempengaruhi kondisi psikologis masyarakat tersebut. Masyarakat akan makin tertekan dalam kondisi kekurangan air. Biaya konsumsi air semakin tinggi dengan pasokan yang cekak.

Banyak dampak sosial yang mengikuti penurunan ketersediaan air. Misalnya kelaparan, hilangnya mata pencaharian, menyebarnya penyakit bawaan air, migrasi yang terpaksa, bahkan konflik kepentingan.

"Konflik kelangkaan air ini akan menjadi konflik baru di masa mendatang dan akan makin parah, baik antarpenduduk, antarwilayah, bahkan antarnegara, karena air merupakan sumber penghidupan," katanya.

Ekosistem yang rentan dampak penurunan ketersediaan air adalah pertanian, perikanan, dan hutan kota. Sektor pertanian akan mengalami penurunan produktivitas akibat tidak dipenuhinya kebutuhan air untuk tumbuhnya tanaman. Begitu juga sektor perikanan. Kolam ikan air tawar tidak cukup air, sehingga ikan tidak akan mampu hidup dalam kondisi kekurangan air.

Hutan kota yang sering terlihat di pinggiran jalan atau pembatas ruas jalan akan semakin berkurang. Suplai air untuk kegiatan penghijauan kota tidak lagi terpenuhi karena akan lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Jika tidak ada lagi hutan kota, suhu kota pun bakal semakin panas dan polusi udara, terutama karbon, tidak dapat terbendung lagi.

Jika daya dukung lingkungan hidup berkurang, akhirnya proses pembangunan akan terganggu. Juga akan mengganggu keberlanjutan pembangunan, terutama pembangunan di tingkat lokal.

Untuk mengatasi dampak terhadap masyarakat dan lingkungan, maka pengelolaan air harus diporimalkan. Penghematan air ditingkatkan, sehingga kebutuhan air untuk masyarakat dan lingkungan terpenuhi. Juga mengelola air yang jatuh pada musim hujan dengan cara menampung dan menyimpannya, sehingga dapat dimanfaatkan pada saat kemarau.

Untuk memulihkan vegetasi hutan, pemerintah dapat melakukan reforestasi di kawasan lahan kritis yang tidak terpakai. Dapat juga meningkatkan hutan-hutan kota yang berfungsi mengendalikan secara langsung polusi udara dan stabilitas iklim mikro di wilayah kota. Secara praktis, keberadaan hutan-hutan kota akan mempengaruhi peningkatan jumlah curah hujan di wilayah tersebut.

Tanpa perbaikan itu, bukan mustahil Jawa akan menjadi gurun. Degradasi hutan di beberapa tempat secara tidak disadari akan menjadi lahan mati tanpa air. Dengan demikian, penggurunan sangat berpotensi terjadi di Jawa. Ditambah dengan pemanasan global yang menyebabkan suhu bumi memanas, lahan-lahan akan semakin tidak produktif, baik lahan terbuka maupun lahan sawah.

Transmigrasi juga menjadi solusi untuk menyesuaikan kondisi air dan lahan di Jawa. Dengan melihat proyeksi jumlah penduduk Jawa yang pada 2025 mencapai 181,5 juta jiwa, untuk memperoleh ketahanan sistem kehidupan di Jawa, harus dilakukan transmigrasi kurang lebih separuh dari jumlah penduduk pada waktu itu. Batas maksimal jumlah penduduk di Jawa adalah separuh dari 181,5 juta jiwa, yaitu 90,75 juta jiwa saja, pada 2025.

Jurus Menyelamatkan Jawa

Ikhwanuddin, yang memprediksi bahwa Jawa akan kekurangan air pada 2025, menawarkan beberapa cara untuk mengatasinya. Yaitu, konsistensi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya air. Misalnya penerapan regulasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, dan kebijakan nasional lainnya.

Pengelolaan pengaturan tata ruang juga harus diperhatikan. Menjadikan rencana tata ruang wilayah sebagai instrumen penting dalam penerapan kebijakan. Sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2007, pengaturan pola ruang mengharuskan luasan vegetasi pada setiap daerah aliran sungai dan ruang terbuka hijau di daerah perkotaan minimal 30%.

Juga dengan mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan global, memperlambat perubahan iklim, serta melakukan penyesuaian terhadap kondisi perubahan iklim melalui teknologi adaptatif dan rekayasa sosial. Selain itu, mengatur jumlah dan distribusi penduduk, menggalakkan kembali program keluarga berencana, percepatan pembangunan luar Pulau Jawa, terutama kawasan timur Indonesia, dan relokasi industri yang membutuhkan bahan baku sumber daya alam besar.

Di samping itu, juga melakukan rehabilitasi hutan dan lahan, terutama pada area yang sensitif di daerah aliran permukaan seperti DAS Ciliwung, Cimanuk, Bengawan Solo, dan Brantas. Begitu pula penghijauan lahan kritis dengan memberi insentif kepada masyarakat berupa penyediaan bibit unggul dan cepat tumbuh.

Lalu mengendalikan kerusakan pantai dan pesisir dengan gerakan menanam hutan mangrove secara massal, yang melibatkan semua tingkatan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat. Meningkatan efisiensi penggunaan air dan pemanfaatan ganda melalui pembuatan waduk, dam, bendungan, sumur resapan, biopori, dan lain-lain.

Menggunakan air untuk pertanian dengan inovasi kultur teknik dan pengembangan jenis padi yang hemat air. Mengatur kelembagaan pengelolaan air. Meningkatkan koordinasi dan kerja sama lintas sektoral serta antardaerah dengan formulasi yang tepat. Juga mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan sumber daya air. Rohmat Haryadi dan Sulhan Syafi'i



Post Date : 23 Desember 2009