Jawa Meregang Nyawa

Sumber:Kompas - 29 Januari 2008
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Pada musim penghujan di penghujung akhir tahun 2007 dan awal 2008 Pulau Jawa dikepung banjir. Setelah diguyur hujan bertubi-tubi, Sungai Bengawan Solo yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa kembali meluap. Luapan Sungai Bengawan Solo kali ini sebenarnya mengulang sejarah 1966 dan 1904. Daerah sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo, mulai dari Solo hingga Gresik, terkena banjir. Konon banjir akibat luapan Sungai Bengawan Solo ini merupakan yang terparah dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.

Selain banjir, sebagian wilayah di Jawa Tengah juga mengalami longsor. Di Karanganyar sekitar 60 orang meninggal hidup-hidup tertimbun longsoran tanah yang menggerus permukiman mereka. Menurut data Bakornas per 6 Januari 2008, bencana banjir dan longsor telah memakan korban meninggal sekitar 87 orang di seluruh Jawa Tengah.

Sedangkan total kerusakan rumah yang ditimbulkan akibat bencana banjir dan tanah longsor sebanyak 1.643 rumah rusak berat dan 14.947 rumah rusak ringan. Ini belum termasuk kerusakan infrastruktur dan fasilitas umum seperti jalan, jembatan, sekolah, dan rumah sakit.

Jawa benar-benar tengah meregang nyawa. Degradasi ekologi yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir menjadikan daya dukung lingkungan Pulau Jawa tidak lagi memadai. Jawa begitu ringkih seperti kakek tua yang memanggul beban berat yang tak kuasa lagi ia pikul.

Luas Pulau Jawa yang hanya 7 persen dari seluruh luas Indonesia harus menopang kehidupan lebih dari 60 persen penduduk Indonesia. Meluapnya Sungai Bengawan Solo dan longsor di Karanganyar adalah contoh nyata dari menurunnya daya dukung lingkungan Jawa. Sungai Bengawan Solo yang lebarnya mencapai 180 meter dengan panjang mencapai 600 kilometer sudah tidak mampu lagi menampung aliran air yang masuk ke dalamnya. Apalagi jika ditambah dengan intensitas hujan yang tinggi.

Salah satu komponen penting dari daya dukung lingkungan sebuah daratan adalah luas tutupan hutan yang memadai. Luas tutupan hutan seharusnya minimal 30 persen dari seluruh luas daratan. Jika kurang dari ini, maka dapat dipastikan akan terjadi krisis ekologi yang memicu terjadinya bencana alam.

Tutupan hutan sangat penting untuk menjaga keseimbangan lingkungan, mengurangi polusi, dan menjadi sumber oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup. Secara ekologis, hutan juga dapat berfungsi menyerap dan menahan erosi air hujan yang menjadi penyebab sedimentasi di aliran sungai dan waduk.

Menurut data dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup, luas tutupan hutan di Pulau Jawa tahun 2007 hanya tersisa 8,2 persen atau 1,08 juta hektar dari total luas daratan yang mencapai sekitar 13.200.000 hektar.

Kondisi ini jelas jauh dari luas ideal yang dipersyaratkan agar daya dukung lingkungan Pulau Jawa memadai. Berkurangnya luas tutupan hutan ini diakibatkan oleh penebangan hutan secara sporadis dan tak terkendali, alih fungsi lahan hutan untuk permukiman, dan gagalnya upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis terutama di daerah aliran sungai (DAS).

Memang benar bahwa kerusakan hutan Jawa bukan satu-satunya pemicu bencana banjir. Namun, ia menjadi penyumbang terbesar terjadinya banjir di Jawa. Pemicu lainnya adalah pola permukiman dan tata kota di Pulau Jawa yang banyak menegasikan aspek ekologis seperti adanya ruang hijau terbuka, sumur resapan, dan sistem drainase yang andal.

Termasuk di dalamnya adalah perilaku masyarakat yang tidak peka terhadap lingkungan seperti membuang sampah sembarangan, mencemari sungai tanpa sungkan. Mendangkalnya sungai-sungai di Jawa yang kemudian meluber menjadi banjir mengingatkan kita pada ramalan Jayabaya. "Besuk yen kali ilang kedhunge, iku tanda yen tekane jaman Jayabaya wis cedhak", yang artinya besok ketika sungai kehilangan kedalamannya, itu tanda kedatangan zaman Jayabaya sudah dekat. Zaman di mana segala kekacauan akan datang dan bencana bertubi menghadang.

Menyelamatkan Jawa

Untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari kepungan bencana diperlukan langkah luar biasa. Tidak cukup hanya dengan seruan reboisasi atau usulan relokasi penduduk di sepanjang bantaran Sungai Bengawan Solo seperti usulan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pendekatannya harus komprehensif dan multiperspektif karena persoalannya sangat kompleks dan melibatkan banyak kepentingan.

Langkah paling pragmatis yang dapat ditempuh adalah menghijaukan Jawa melalui kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan. Upaya ini sudah digalakkan pemerintah sejak 2005 melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GNRHL) di seluruh Indonesia. Sayangnya sebagian gerakan ini terjebak pada pola-pola proyek yang hanya berorientasi pada pelaksanaan kegiatan dan penghabisan anggaran. Akibatnya sebagian tanaman hasil penghijauan dan reboisasi ini mengalami kegagalan. Masih banyak lahan kritis yang belum tersentuh gerakan ini.

Di samping itu, perlu adanya kebijakan dan penegakan aturan secara konsisten tentang tata guna lahan dengan menempatkan pertimbangan ekologis sebagai prioritas. Selama ini kebijakan tata guna lahan lebih berpihak kepada kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi.

Di Yogyakarta, kita bisa menyaksikan bagaimana pesatnya pertumbuhan permukiman, pembangunan pusat perbelanjaan, dan semakin menyempitnya lahan terbuka hijau. Setiap tahun ada sekitar 100.000- 110.000 hektar hutan di Jawa yang dikonversi untuk kepentingan nonkehutanan seperti perkebunan, permukiman, dan pertanian.

Langkah ini juga harus dibarengi dengan perbaikan dan pengembangan infrastruktur dan sistem drainase serta manajemen DAS. Fungsi ekologis sungai harus dikembalikan, demikian juga waduk yang sudah mendangkal. Namun demikian, semua langkah di atas tetap muaranya pada kehendak dan perilaku warga dalam merawat lingkungan sekitar mereka. Ini premis dasar yang berlaku di mana pun dalam konteks penyelamatan lingkungan. Jika ini dapat dilakukan, maka nyawa Pulau Jawa tidak perlu lagi meregang karena bencana. Imam Subkhan Pemerhati Lingkungan, Tinggal di Yogyakarta



Post Date : 29 Januari 2008