|
JAKARTA (Media): Pulau Jawa dan Madura, kini menghadapi ancaman krisis suplai air bersih, karena penggunaannya melebihi seperempat pasokan tahunan. Di Bali, Lampung, Sumatra Utara, serta Sulawesi Selatan juga menghadapi ancaman serupa. Selain turunnya kapasitas resapan air hujan, krisis air itu terjadi akibat eksploitasi besar-besaran atas sumber daya air. Air hujan tidak dapat meresap secara optimal ke dalam tanah melainkan langsung ke laut. Penyebabnya yang paling utama ialah penggundulan hutan, serta berubahnya peruntukan kawasan resapan air menjadi lokasi aktivitas penduduk. "Pengertian krisis air bersih, apabila penggunaan air bersih sudah melebihi seperempat jatah tahunannya. Pasokan air yang tersedia itu bersumber baik dari air hujan dan tersimpan di tanah, maupun air yang berasal dari permukaan," ungkap perwakilan Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE), Indonesia, Peter E Hehanussa, menjawab Media, Senin (14/11), di Jakarta. "Tata kelola air yang tidak berbasis bidang ilmu hidrologi maupun ekologi, berdampak negatif terhadap ketersediaan suplai air tanah. Selama ini penggunaan air tanah, hanya memikirkan nilai ekonomis semata tanpa mempertimbangkan aspek pemeliharaan," ujar Peter. Menurut Peter, berkurangnya sumber air, terutama air bersih di lingkungan, berdampak negatif terhadap ekosistem alam. Sebab, air berfungsi bagi biodiversitas, artinya dipakai oleh seluruh makhluk hidup. "Parameter krisis air di sejumlah pulau di Indonesia berbeda-beda. Papua relatif masih kaya akan sumber air bersih, karena area hutan yang relatif luas. Sedangkan di Kalimantan Timur, yang memiliki pasokan sumber air bersih relatif banyak, mengalami ancaman krisis air bersih. Itu karena faktor perilaku masyarakat di sana yang kerap membuang limbah beracun ke lingkungan menyebabkan turunnya kualitas sumber air bersih," paparnya. Selama ini disiplin ilmu hidrologi cuma mendalami persoalan seputar air saja. Sedangkan bidang ekologi juga hanya menggeluti persoalan yang terkait ekosistem semata. Terpisahnya penanganan kedua bidang yang sebetulnya saling berkaitan erat itu, terbukti gagal untuk memenuhi kebutuhan mendasar manusia akan air. Pertengahan tahun 1990-an, UNESCO menggagas pengembangan suatu cabang ilmu baru yang dinamai ekohidrologi yang menggabungkan dua komponen penting itu. "Krisis air bersih di Indonesia, terutama Jawa dan Madura, akan bisa diatasi secara holistik dengan metode penataan berbasis ekohidrologi," kata dia. Neraca Pengelolaan SDA Untuk menghindari krisis itu, pemerintah diminta mengeluarkan kebijakan berupa neraca pengelolaan sumber daya alam (SDA), dan lingkungan hidup (LH) khusus untuk Pulau Jawa. Hal itu mengingat sedikitnya 65% jumlah penduduk Indonesia bermukim di Pulau Jawa. "Neraca itu berfungsi sebagai patron dan mitigasi bencana alam mengingat di pulau ini sangat rawan bencana alam dan krisis sosial masyarakat," ungkap Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Chalid Muhammad. Selain menghadapi krisis air bersih, kata Chalid, Pulau Jawa juga rawan krisis energi dan ketersediaan pasokan pangan. Untuk itu, pemerintah pusat harus membuat neraca pengelolaan SDA dan LH, sebagai panduan program kerja bagi pemerintah di setiap daerah di Jawa," tutur Chalid. Bagi Chalid, perlunya pemerintah membuat neraca pengelolaan SDA dan LH, karena selama panduan program di setiap daerah di Jawa, tidak punya kontrol yang efektif. Untuk itu, urai Chalid, panduan program kerja, akan membantu memberi arahan bagi daerah, agar ketersediaan pasokan pangan lebih berdaya guna. Di sisi lain, Peter E Hehanussa mempertegas, kepedulian para pakar di dunia akan arti penting upaya pemanfaatan, sekaligus pelestarian sumber air, dimulai sejak era awal 1980-an. Tapi kepedulian itu cuma tebersit di kalangan ahli biologi. Selama ini pengelolaan sumber daya air hanya melalui pendekatan yang bersifat sektoral. "Pakar hidrologi cuma memikirkan aspek air, sebaliknya ahli ekologi hanya memerhatikan ekosistem semata. Padahal, ada keterkaitan antara ekologi dan hidrologi," urai Peter. Melihat situasi ini, dalam pandangan Peter, harus ada koordinasi yang jelas dan tegas, agar ekosistem yang ada dapat terjaga dengan baik. (OK/H-2) Post Date : 16 November 2005 |