SEMARANG, KOMPAS - Jawa Tengah mengalami krisis air. Hanya 38 persen air permukaan yang termanfaatkan. Sementara 62 persen sisanya terbuang ke laut dan melimpas ketika banjir.
Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air Balai Besar Wilayah Sungai Pemali-Juwana, Widiarto, di Kota Semarang, Selasa (25/5), menyebutkan, potensi air permukaan di Jateng mencapai 65,655 miliar meter kubik. Dari jumlah itu, ada 25,127 miliar meter kubik air yang termanfaatkan.
"Sisanya melimpas ke darat ketika banjir, dan terbuang ke laut. Perlu pengelolaan yang lebih baik terhadap potensi air. Selama ini, Jateng selalu rawan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau," ujar Widiarto.
Selain air permukaan, masih ada potensi air dari waduk dan embung yang mencapai 2,039 miliar meter kubik, serta 7,5 miliar meter kubik air bawah tanah. Pemanfaatan air bawah tanah diperkirakan mencapai 156,5 juta meter kubik. Sementara itu air waduk yang banyak dimanfaatkan untuk pengairan debit airnya tidak stabil sepanjang tahun.
Guru Besar Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang, Sudharto P Hadi, mengatakan, krisis air di Jateng tidak hanya secara kuantitas, tetapi juga kualitas. Tercatat, 70 persen sungai di Jateng tercemar. Pencemaran paling parah terjadi di wilayah dengan kawasan industri, seperti Kota Semarang, Kota Tegal, dan Kota Solo.
"Krisis itu terindikasi lewat 22 dari 35 kabupaten/kota di Jateng yang rawan bencana. Tidak hanya banjir, tanah longsor, dan kekeringan berkaitan erat dengan kondisi air. Artinya, persoalan air sudah sangat serius," kata Sudharto.
Kondisi alam yang rusak, terutama di daerah hulu, menjadi penyebab utama krisis air. Daerah-daerah serapan menghilang, menyebabkan air melimpas, tanah mudah longsor, dan menimbulkan sedimentasi yang tinggi di sungai sehingga akhirnya terjadi banjir.
"Selain harus membangun embung dan waduk untuk menampung air, pemerintah harus memikirkan konservasi kawasan penangkapan air. Pemberian izin jangan lagi dengan orientasi ekonomi, tetapi harus dengan orientasi pengendalian," tutur Sudharto.
Ketua DPD Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) Jateng Hasan Aoni Aziz UZ menyebutkan, dari 35 PDAM di Jateng, 26 di antaranya masih memanfaatkan mata air serta sumur dalam sebagai sumber air. Sisanya sudah mulai memanfaatkan sumber air sungai dengan sistem pengolahan air.
"Kami kesulitan jika harus memanfaatkan air sungai karena pencemaran yang tinggi mengakibatkan biaya pengolahan semakin tinggi. Selain itu, debit sungai dan waduk pun tidak dapat diandalkan sepanjang tahun. Di musim hujan melimpah, tetapi di musim kemarau kering," kata Hasan.
Karena itu, kata Hasan, konservasi harus digalakkan untuk menjaga debit air di sungai dan waduk sepanjang tahun. Sumber itu kemudian dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dengan mudah tanpa harus mengeksploitasi air bawah tanah. (UTI)
Post Date : 26 Mei 2010
|