|
Diare mengancam anak-anak kita! Penyakit yang kelihatannya sepele ini nyatanya adalah penyebab kematian anak-anak yang utama. Jumlah anak penderita diare yang meninggal setiap tahun lebih banyak dibandingkan gabungan jumlah anak yang meninggal akibat AIDS, malaria, dan tuberkulosis. Majalah Times edisi Oktober 2006 menulis, sedikitnya 1,9 juta anak berusia di bawah lima tahun (balita) meninggal setiap tahun akibat diare. Sementara kematian akibat malaria tercatat sebanyak 853.000 orang per tahun, kematian anak karena campak sebanyak 395.000 anak per tahun, dan 321.000 anak meninggal setiap tahun akibat HIV/AIDS. Sebagian kasus diare terjadi karena lingkungan yang kurang bersih serta air dan makanan yang tercemar oleh berbagai mikroorganisme, seperti rotavirus, bakteri Eschericia coli, shigella, campylobacter, dan salmonella. Diare ditandai dengan rasa mulas, kerap buang air besar, dan kadang-kadang disertai dengan muntah-muntah. Lama-kelamaan, penderita akan kehilangan cairan tubuh. "Pada tahun 1970-an, kalau ada anak yang terkena diare, anak itu lalu diberi antibiotik, entah apa pun penyebabnya. Orangtuanya malah tidak memberinya makan. Maksudnya biar berhenti buang air. Tetapi, yang terjadi malah semakin lemas," ujar Profesor Suparyati Soenarto, Ketua Pusat Epidemiologi Klinis dan Biostatistik Departemen Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat itu, belum banyak yang tahu bahwa diare bukan hanya disebabkan oleh bakteri tetapi juga rotavirus. Diare akibat rotavirus tidak membutuhkan antibiotik, karena meskipun butuh waktu lama, penyakit itu akan sembuh sendiri. Namun, sekali menyerang tubuh, virus berbentuk roda, yang termasuk dalam famili Reoviridae ini akan tinggal di dalam tubuh pasiennya. Akibatnya, anak-anak akan terus-menerus terkena diare. Tanpa penanganan yang tepat, misalnya pemberian cairan gula garam terus-menerus untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang, anak akan mengalami dehidrasi. Di Asia Pasifik, setiap tahun 171.000 anak meninggal karena infeksi rotavirus sebelum dia berumur lima tahun, sekitar 1,9 juta anak terpaksa dirawat di rumah sakit karena penyakit ini dan 13,5 juta anak terpaksa berobat jalan. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan dan perawatan akibat penyakit ini berkisar 191 juta dolar Amerika Serikat (AS). Yang menarik, virus ini ditemukan bukan hanya di daerah dengan sanitasi minimyang biasanya terdapat di negara-negara berkembangtetapi juga ditemukan di negara maju, seperti AS. Menurut Suparyati, virus itu bukan hanya dapat masuk lewat makanan atau minuman yang kurang bersih, tetapi juga melalui udara. Itu sebabnya pada beberapa kasus rotavirus juga ditemukan batuk pilek. Tulisan soal acute gastroenteritis (GE) yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Lancet yang terbit tahun 1975 menyebutkan rotavirus ditemukan dalam 52 persen penderita diare. Namun, belum banyak pihak yang peduli akan penyakit ini. Times menulis, penyakit, seperti AIDS, tuberkulosis, dan malaria, jauh lebih menarik perhatian pemerintah, lembaga donor, dan bahkan kaum selebritas dunia. Rotavirus sendiri berkembang sangat cepat. Pada tahun 1978-1979, strain virus yang ditemukan adalah strain G1-G4. Mulai tahun 2005-2007 telah ditemukan virus dengan strain G1-G9. Konsensus Para pakar kesehatan dan wakil pemerintah se-Asia Pasifik akhirnya mengadakan pertemuan di Bangkok, 13-14 November 2007 dalam ajang Asia-Pasific Rotavirus MetaForum untuk membahas perkembangan, pencegahan, dan pengobatan rotavirus. Pertemuan itu akhirnya menghasilkan konsensus soal pentingnya kepedulian pemerintah dan berbagai pihak akan bahaya rotavirus. Forum itu juga sepakat soal perlunya program vaksinasi untuk mencegah diare akibat rotavirus di kemudian hari. Di beberapa negara, seperti AS, negara-negara Eropa, China, India, Banglades, dan Filipina, vaksin rotavirus sudah diberikan pada bayi. "Program vaksinasi universal potensial untuk mencegah kematian bayi akibat rotavirus dan kerugian yang dialami keluarga akibat penyakit itu," ujar MetaForum Co Chair Profesor Lulu Bravo. Suparyati mengakui pentingnya vaksin, namun dia juga mengaku, vaksin yang diproduksi oleh produsen obat dari AS itu harganya cenderung mahal karena dibuat untuk tujuan komersial. Hasil studi yang dilakukan Suparyati menunjukkan, belum banyak masyarakat Indonesia yang paham soal vaksin itu. Beberapa yang tahu mengaku akan memvaksinasi anaknya asalkan biayanya terjangkau. Tidak hanya masyarakat, pemerintah, kata Suparyati, juga belum mengetahui besarnya bahaya yang mengancam akibat rotavirus. Sebab, laporan yang diterima pemerintah tidak pernah mengklasifikasikan diare berdasarkan penyebabnya. Dalam berbagai forum kesehatan, penggunaan vaksin untuk mencegah rotavirus masih kontroversi. Sebab, seperti yang dikatakan Suparyati, penyakit ini bisa sembuh sendiri. Yang terpenting, penanganan yang tepat untuk mengganti elektrolit yang hilang dan mencegah timbulnya dehidrasi pada bayi dan anak. Cara penanganan yang sederhana adalah pemberian oralit sebanyak 50-100 ml (1/4-1/2 gelas) untuk anak di bawah dua tahun setiap buang air besar, 100-200 ml (1/2-1 gelas) untuk anak 2-5 tahun, anak yang lebih besar diberikan minuman sebanyak mungkin. Jika tidak ada oralit, penderita diare juga bisa diberi larutan gula-garam. Larutan ini dibuat dengan melarutkan satu sendok makan penuh gula pasir dan satu pucuk sendok garam dalam satu gelas air matang. Pemberian oralit dan larutan gula garam ini, sejak tahun 1970-an terbukti berhasil mengurangi angka kematian akibat diare. Khairina Post Date : 14 Desember 2007 |