jakarta, kompas - Banjir di Jakarta akan terus terjadi dengan skala meningkat, seiring kerusakan lingkungan di kawasan hulu dan hilir yang kian parah. Oleh karena itu, penduduk Jakarta harus mampu beradaptasi terhadap bencana banjir yang selalu berulang, terutama saat puncak hujan.
Marco Kusumawijaya, Direktur Eksekutif RUJAK Center for Urban Studies, Rabu (16/1), mengatakan, pendekatan yang dipakai dalam mengatasi banjir Jakarta dari tahun ke tahun tidak berubah, yaitu lebih mengedepankan penataan saluran air. ”Padahal, banjir terjadi karena aliran air permukaan yang melebihi daya tampung saluran, baik sungai maupun kanal buatan. Anehnya, tidak pernah dipikirkan bagaimana mengurangi total aliran air permukaan,” ungkapnya. ”Sebesar apa pun saluran dibuat, kalau aliran air permukaan terus bertambah, banjir terus terjadi.”
Aliran air permukaan ini, menurut Marco, disebabkan tanah tak mampu lagi meresapkan air. ”Kami mengusulkan pendekatan lestari, yaitu memperbaiki lahan di hulu dan hilir agar menyerap air lebih banyak. Sayangnya, pendekatan ini dianggap tidak populer dan pemerintah cenderung memilih pendekatan pembuatan kanal dan terakhir mau membuat deep tunnel,” katanya.
Marco mencontohkan, pendekatan lestari ini dilakukan kota Santa Monica, Amerika Serikat, dengan menerapkan aturan zero run off. ”Orang akan didenda jika cuci mobil dan membuang air sembarangan ke jalan,” katanya.
Adaptasi
Ahli hidrologi Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sudibyakto, pesimistis banjir di Jakarta bisa diatasi dalam jangka pendek. ”Masalah banjir Jakarta terlalu kompleks, tidak hanya aspek hidrometeorologi dan hidrologi sungai, tetapi juga aspek budaya masyarakat yang sulit berubah serta tata ruang yang tak terkendali,” katanya.
Kondisi geografis Jakarta yang berada di delta, menurut Sudibyakto, menyebabkan banjir terjadi sejak awal pendirian kota ini. Artinya, banjir tidak hanya terjadi akhir-akhir ini saja dan bukan karena faktor cuaca. Intensitas banjir meningkat karena kerusakan lingkungan kian parah.
”Kapasitas tampung Sungai Ciliwung sudah terlampaui akibat pendangkalan dan ada penambahan intensitas air permukaan. Sumbangan air limpasan dari sistem jalan tol juga sangat signifikan. Koefisien aliran di jalan tol mendekati 90 persen, artinya hampir 90 persen hujan yang jatuh di atasnya menjadi limpasan permukaan,” katanya.
Oleh karena itu, jika tak ada penataan wilayah yang lestari dan konsisten, ungkap Sudibyakto, masyarakat Jakarta harus beradaptasi terhadap banjir. Misalnya dengan membangun rumah panggung, mengevakuasi diri ke daerah yang relatif aman dari banjir, serta menjadi masyarakat yang tangguh bencana. (AIK)
Post Date : 17 Januari 2013
|