Jangan Remehkan Kedinginan

Sumber:Majalah Tempo - 12-18 Maret 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Korban kedinginan akibat hujan dan banjir cenderung diabaikan. Padahal, hipotermia tak kalah berbahaya dibanding DBD dan leptospirosis.

Peringatan itu datang dari kantor Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jakarta. Isinya: pada 912 Maret, kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi bakal dilanda hujan lebat merata selama satu sampai lima jam. Waspada pada daerah rawan longsor dan banjir, demikian BMG menulis dalam situs resminya pekan lalu. Prediksi BMG bisa benar, bisa salah. Yang pasti, banjir besar disertai angin kencang masih mungkin mengancam Jakarta dan sekitarnya, termasuk berbagai daerah di Indonesia.

Hujan, banjir, dan angin identik dengan hawa dingin. Ketika banjir melanda Jakarta pada awal Februari lalu, setidaknya 13 orang meninggal karena kedinginan dari total 124 korban jiwa. Namun, fakta ini luput dari perhatian, termasuk oleh Departemen Kesehatan. Lihat saja laporan Sekretariat Jenderal Pusat Penanggulangan Krisis, Departemen Kesehatan, tentang persoalan kesehatan akibat banjir di Jakarta dan sekitarnya.

Dalam laporan tertanggal 28 Februari 2007 itu hanya disebutkan jumlah orang meninggal akibat demam berdarah, leptospirosis, dan tetanus. Tak dilaporkan sama sekali orang yang tewas akibat kedinginan atau dikenal dengan istilah hipotermia, meskipun jumlahnya cukup signifikan. Hipotermia memang cenderung diabaikan, kata dokter Amir S. Madjid dari Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran UI-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pekan lalu.

Amir sebagai ahli anestesi, memang, terbiasa peka terhadap penurunan suhu tubuh orang. Karena, jika suhu tubuh menurun ketika diberi anestesi bisa berakibat fatal, bahkan sampai pada kematian. Itulah mengapa Amir memberikan perhatian ekstra terhadap gejala yang luput dari pengamatan pihak lain.

Pada penderita hipotermia, suhu tubuh inti (internal) kurang dari 35 derajat Celsius. Meskipun tubuh manusia mampu mengatur keseimbangan antara produksi dan pengeluaran panas sehingga suhu tubuh inti dapat dipertahankan sekitar 37 derajat Celsius, bila lingkungan dingin dan termoregulasi alias pengatur suhu di dalam tubuh terganggu, hipotermia bisa terjadi.

Cara mengetahuinya? Yang paling mudah adalah dengan memasang termometer yang langsung dicolokkan ke lubang duburjangan di ketiak atau di mulut karena hasilnya kurang akurat. Bila tidak ada termometer, pengamatan fisik bisa juga dilakukan, misalnya apakah kulit dingin, menggigil tak terkendali, seseorang terlihat bingung, lemas, malas, detak nadi dan pernapasan lambat, bicara ngaco dan pupil mata melebar. Hipotermia juga dapat mengakibatkan gangguan irama jantung. Bila tak ditangani secara benar, bisa memicu kematian, kata Amir.

Selain itu, yang harus diperhatikan adalah mereka yang memiliki risiko tinggi terkena hipotermia. Mereka, kata Amir, adalah yang berusia lanjut (di atas 60 tahun), anak-anak di bawah lima tahun, pengidap diabetes mellitus, jantung, stroke, trauma tulang belakang, luka terbuka pada kulit, dan luka operasi.

Tak hanya dalam mengenali gejalanya, untuk menolong penderita hipotermia pun diperlukan kehati-hatian. Untuk mengangkat korban, misalnya, sebaiknya dilakukan oleh dua-tiga orang. Selain itu, karena irama jantung korban terganggu, maka sirkulasi darah pun bisa ikut terganggu. Jalan napas korban juga harus bebas, dan tubuhnya dijaga tetap hangat dengan diselimuti, lalu diberi minum air gula hangat.

Tapi, penderita hipotermia jangan sekali-kali diberi wedang kopi karena malah akan merangsang detak jantung. Minuman beralkohol juga harus dihindari karena justru membuat korban kehilangan panas tubuh lebih cepat, kata Amir. Salah kaprah lainnya adalah merokok. Karena pada suhu dingin, pernapasan untuk mengambil oksigen akan menjadi lebih lambat. Kalau paru dipenuhi asap rokok, maka oksigen dalam paru berkurang.

Kesalahan lainnya adalah menganggap aman dengan menempatkan orang yang kedinginan di lantai dua rumah yang tak terkena banjir. Tanpa disadari, aliran air di lantai bawah ternyata bisa mempercepat berkurangnya panas tubuh korban melalui mekanisme konduksi. Bahan-bahan bangunan rumah, seperti kayu dapat mengalirkan dingin.

Bukan hanya korban banjir yang terancam hipotermia. Relawan penolong pun bisa terserang penurunan suhu tubuh inti. Menurut Amir, jika menolong korban banjir, seseorang harus memakai baju tahan angin dan air, serta melindungi bagian tangan, kaki, dan kepala. Penutup kepala harus selalu dipakai karena sebagian besar panas tubuh hilang melalui kepala. Hal ini sering kali dilupakan, termasuk oleh petugas penolong, kata Amir.

Bila hipotermia sudah berat, penanganan medis serius sangat diperlukan. Pasien akan diberi selimut berpemanas, gas alat bantu pernapasan yang kelembabannya dihangatkan, cairan intravena yang dihangatkan, atau dibawa ke suatu kamar operasi yang dihangatkan. Yang penting, penolong harus mengenali gejala-gejala hipotermia, terutama yang sudah berat. Kematian bisa dicegah jika kita mengenali gejalanya dengan baik, kata Amir.

Kurangnya pemahaman petugas lapangan tentang hipotermia diakui dokter Tini Suryanti, dari Subdinas Pemasaran Sosial dan Informasi Kesehatan, Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Akibatnya, penanganan kepada pasien yang diduga mengalami hipotermia jadi terlambat, sehingga nyawa mereka tak bisa diselamatkan. Untuk menambal kekurangan itu, pihaknya akan segera menggeber program Rukun Warga Siaga (RW Siaga) di seantero Jakarta.

Dalam program tersebut, setiap RW akan ditunjuk satu orang yang dilatih menjadi pengawas penyakit. Kader yang bersangkutan diharapkan juga bisa menangani kegawatdaruratan yang muncul di tengah masyarakat. Setidaknya, ia tahu ke mana harus mengirim orang yang menderita gangguan penyakit, termasuk jika mengalami hipotermia saat hujan dan banjir, kata Tini. Targetnya, tahun ini, separuh dari total 2.600-an RW di Jakarta sudah menjadi RW Siaga. Ya, mudah-mudahan mereka juga siaga hipotermia, baik di saat ada atau tidak ada ramalan cuaca hujan lebat dan angin dari BMG. Dwi Wiyana



Post Date : 12 Maret 2007