KOPENHAGEN, KOMPAS.com – Seminggu di Kopenhagen, membuat saya menemukan banyak hal-hal kecil yang mencuri perhatian. Cerita ini salah satunya.
Awalnya adalah obrolan kecil dengan seorang teman asal China, Hap, yang mengingatkan saya agar tak membuang botol bekas air mineral yang dilihatnya sudah kosong di tangan saya. Kenapa? Hap mengatakan, botol bekas minuman itu bisa jadi uang. Tak banyak yang bisa diberitahukan Hap, karena ia pun belum mencobanya.
Dari seorang teman yang menetap di Kopenhagen, Winda dan Al, saya mendapat jawabnya. Dalam setiap botol atau kaleng minuman, terdapat tanda panah memutar (simbol recycle) dengan tulisan tiga macam yaitu “Pant A”, “Pant B” dan “Pant C”. Masing-masing bisa ditukar dengan uang dengan nilai berbeda.
Saya pun mencoba membuktikannya di salah satu super market terkemuka di Denmark. Sebagai informasi, kebijakan ini berlaku di 3 super market yang merupakan waralaba original Denmark. Konon, ketentuan ini berlaku di negara Skandinavia. Uang yang didapatkan dari mengembalikan botol ini sebenarnya harga botol itu sendiri. Di Denmark, harga minuman belum termasuk harga botol. Maka, total harga jual pasti ditambah dengan harga yang dikenakan khusus untuk botolnya. Hmmm...jadi rugi kalau membuang botol itu begitu saja!
Cara menukar botol bekas dengan “uang” pun saya coba. Pertama saya memasukkannya ke sebuah mesin yang tersedia. Botol akan masuk dengan sendirinya mengikuti alur yang ada dan terkesan disedot ke dalam mesin. Tak lama kemudian akan muncul angka “harga” botol bekas itu. Selanjutnya, kita akan menerima struk yang bisa ditukarkan dengan uang atau langsung dijadikan alat belanja. Untuk botol atau kaleng dengan tanda “Pant A” dihargai 1 kroner, “Pant B” 1,5 kroner dan “Pant C” 2 kroner.
Penerapan peraturan ini salah satunya untuk mengurangi limbah plastik dari botol minuman yang merupakan salah satu sampah yang susah didaur ulang. Dengan cara ini, maka produsen dapat kembali memanfaatkan botol tersebut.
Musim panas jadi lahan pekerjaan pemulung
Menurut beberapa teman, sayangnya, saya mengunjungi Kopenhagen saat musim dingin. Jika di musim semi, pasti akan melihat fenomena “botol tukar uang” ini. Katanya, di musim semi peraturan ini memberi banyak rezeki bagi para pemulung atau orang-orang miskin kota. Biasanya para pemulung akan berkeliling kota untuk mengumpulkan botol bekas. Di musim semi, konsumsi minuman kaleng dan botol minuman pasti tinggi. Bahkan, ada pemulung yang bisa mengumpulkannya dalam jumlah besar.
“Biasanya mereka datang ke super market sambil bawa karung isi botol atau kaleng bekas. Lumayan lo, katanya bisa dapat 200-300 kroner,” kata Winda.
Oya, tak hanya botol yang ada harganya di Kopenhagen atau mungkin di beberapa kota di Eropa. Untuk plastik belanjaan, kita juga tak bisa mendapatkannya dengan gratis. Di Kopenhagen, konsumen harus membayar 2-5 kroner untuk sebuah kantong plastik, tergantung ukurannya. Maka tak heran, sebagian besar konsumen membawa tas atau plastik belanja sendiri daripada mengeluarkan uang untuk satu kantong plastik.
Hmmm, terbayang mungkinkah hal itu diterapkan di Indonesia? Kebijakan beberapa swalayan untuk mengajak konsumen lebih ramah lingkungan dengan menyediakan kantong plastik “satu untuk selamanya” yang didesain menarik pun tampaknya belum membuahkan hasil. Mungkin perlu dukungan kita semua? Jadi teringat kata-kata “plastic bag is rubbish”...
Post Date : 16 Desember 2009
|