|
APA pun kegiatan manusia hampir selalu menghasilkan sampah. Namun, limbah yang keluar dari rumah tangga, hingga sisa proses produksi di industri, bahkan ampas dari yang dimakan, diminum, dan dihirup, sering dibuang begitu saja tanpa diapa-apakan. Makanya, sampah sekadar disingkirkan jauh-jauh, misalnya ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang. Inilah contoh praktik penanganan sampah dari paradigma yang keliru itu karena sampah seharusnya bisa diolah. PENGOLAHAN sampah bisa menghasilkan produk bermanfaat yang bernilai ekonomis, sekaligus aman dikembalikan ke alam. Begitulah yang dilontarkan Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL) BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Tusy A Adibroto. Karena itu, sejak lama BPPT mengkaji dan mengembangkan sistem pengolahan sampah terpadu yang sangat minimal menghasilkan limbah, bahkan mengolah sampah secara sempurna atau zero waste. Saat ini, ujar Firman L Syahwan, Kepala Bidang Teknologi Pengendalian Pencemaran Lingkungan BPPT, peneliti di badan riset ini telah mengkaji TPA sampah untuk melakukan penyempurnaan. Dalam hal ini yang dikembangkan adalah tempat pengolahan akhir yang dapat dipakai berulang (sanitary landfill reusable). Untuk itu, dalam satu kawasan akan dipilih dua lokasi sebagai TPA. Pada tahap awal digunakan TPA pertama. Bila penuh, akan digunakan TPA kedua. Bersamaan dengan itu, TPA pertama diolah hingga pada kurun waktu selanjutnya dapat digunakan lagi. TPA guna ulang ini lewat program bantuan Bank Dunia akan diterapkan di Serang, Banten. Pihak pemerintah daerah dan masyarakat setempat, menurut Firman, telah dapat menerima lewat proses sosialisasi. Dalam hal ini masyarakat setempat akan dilibatkan. Lebih lanjut dijelaskan Djoko Heru Martono, peneliti dari Kelompok Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengolahan Sampah dan Limbah Padat BPPT, perhatian BPPT selain pada sampah organik yang mencapai 70 persen volume sampah di kota-kota besar, juga diarahkan pada pengolahan sampah anorganik. Sampah anorganik meliputi sampah plastik, kertas, besi atau logam, kain, dan kaca. Umumnya sampah ini dapat didaur ulang dan diolah kembali. Hanya sekitar 30 persen atau 6 persen dari total sampah yang tidak bisa diolah kembali. Meski persentasenya relatif kecil bila melihat volume sampah di DKI yang per hari saja 6.000 ton, maka sampah yang tidak dapat diolah-umumnya berupa plastik-berpotensi mencemari lingkungan. Sebab, enam persen berarti 360 ton. SEBETULNYA sampah itu dapat dikumpulkan dan dilelehkan pada mesin ektruder, lalu dicetak menjadi balok-balok. Di India sampah plastik itu dapat diolah menjadi pagar atau genteng. Namun, alat untuk membuat produk itu sekarang masih relatif mahal. Dalam penanganan sampah, lanjut Tusy, BPPT tengah mengembangkan program cluster penanganan sampah selama dua tahun ini yang meliputi strategi dan perancangan desain unit pengolah sampah. Berbeda dengan TPA Bantar Gebang, Bekasi, TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) Bojong, Bogor, jika dilihat dari rencana alur prosesnya sebenarnya lebih baik. Sampah yang diangkut akan dipilah-pilah, diproses, dan menghasilkan produk akhir yang dapat dimanfaatkan. Dari sampah yang masuk ke TPST, air sampah yang dihasilkan dari proses pengepresan akan diolah lewat proses aerob oleh mikroorganisme hingga menghasilkan air bersih yang dikembalikan ke alam dan pupuk cair. Sedang sampah padatnya masuk ke dalam insinerator untuk dibakar hingga menjadi abu. Pada proses selanjutnya, abu sampah diolah menjadi bahan baku batako dan paving block. Ia menilai sampah organik padat yang dihasilkan dari proses tersebut sebaiknya tidak seluruhnya dibakar, namun dapat diproses menjadi pupuk kompos lewat proses pengomposan. Meski proses pengomposan memerlukan waktu relatif lama dan dilakukan secara ekstensif atau memerlukan lahan yang luas, pupuk yang dihasilkan memiliki nilai ekonomis tersendiri. Pasar pupuk kompos juga tergolong potensial, antara lain untuk menyuburkan lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit. BILA sampah dibakar, sebetulnya itu juga digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik. Beberapa tahun lalu pengkajian tentang pembangkitan listrik dengan sampah pernah dilakukan di DKI. Untuk 1.500 ton sampah dapat dihasilkan 16 MW listrik. Bahkan, pembangkit ini bisa menyuplai 10 MW ke PLN. Melihat potensi itu, Tusy menyarankan agar pemda terkait menjalin kerja sama dengan perusahaan pembangkitan untuk menerapkan teknologi ramah lingkungan ini. Dengan demikian, selain dapat mengatasi masalah pencemaran sampah, juga dapat mengatasi krisis energi. Lebih lanjut, menurut Tusy, teknologi pengolahan sampah di TPST Bojong yang didatangkan dari luar negeri itu seharusnya dikaji lebih dulu kelayakan teknologinya oleh BPPT yang memiliki kompetensi untuk itu sebelum diterapkan di Indonesia. Selain itu, yang juga dipertanyakan adalah amdal dari pembukaan TPST Bojong. Penolakan masyarakat terhadap keberadaan tempat pengolahan sampah juga menunjukkan tak adanya sosialisasi oleh pihak pengelola kepada masyarakat sekitar. Hal itu menurut dia penting, karena masyarakat yang akan menerima dampak dari keberadaan instalasi juga dapat dilibatkan dalam proses pengolahan. Apalagi pabrik pengolah sampah tergolong industri padat karya. (yun) Post Date : 27 November 2004 |