|
MASYARAKAT Gunungkidul, DI Yogya karta, lekat dengan masalah air ber sih. Mereka lalu bergelut, melakukan berbagai cara untuk mendapatkan air bersih, salah satunya dengan menampung air hujan saat musim penghujan. Imorejo, 70, salah satunya. Ia mengaku senang karena sejak akhir November tahun lalu, ia tidak lagi harus membeli air untuk keperluan minum, memasak, mandi, ataupun mencuci. Semua kebutuhan airnya terpenuhi oleh air hujan yang turun hampir setiap hari. Warga Dusun Karangasem, Kelurahan Mulo, Kecamatan Wonosari, Gunungkidul, itu mengaku sejak November 2012 desanya sudah intens diguyur hujan. “Sejak turun hujan, saya tidak perlu lagi membeli air dalam tangki yang dijajakan truk-truk seperti saat kemarau. Itulah sebabnya, di sini musim hujan selalu ditunggu-tunggu,“ kata dia dalam bahasa Jawa, ketika ditemui di rumahnya. Kemarau memang menjadi saat-saat sulit air di Gunung kidul. Pada musim kemarau lalu, ia sudah membeli sembilan tangki air. “Satu tangki berisi 5.000 liter harganya Rp50 ribu,“ tuturnya. Namun, kini ia mengandalkan air hujan yang ditampung. Air hujan yang jatuh ke atap rumah dialirkan ke tempat penyimpanan berkapasitas 10 ribu meter kubik dari beton.“Biasanya 2 tangki, masing-masing 5.000 meter kubik, itu penuh,“ terang Imorejo. Tangki penampung itu didapat dari Tangki penampung itu didapat dari program bantuan pemerintah pada 1996 lalu. Tangki itu bisa terisi penuh jika hujan turun hingga 5-6 jam. Air sebanyak 10 ribu meter kubik tersebut bisa digunakan selama 15 hari oleh keluarganya yang berjumlah enam orang. Citra sebagai daerah langka air dipicu sulitnya mengakses air bersih yang umumnya terletak ada di sungaisungai bawah tanah dan perlu biaya mahal untuk mengangkatnya ke permukaan. Sementara itu, air sumur mengandung banyak kapur. Suyitno, 44, Warga Dusun Plosodoyon, Kelurahan Nglayan, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, juga terbiasa menampung hujan. Jika dibandingkan sumur di rumahnya, air hujan jauh lebih bersih dan tidak mengandung kapur. Ia juga mempunyai tempat penampung air berkapasitas 8.000 liter sejak 2008. Air yang ada di dalam penampungan tersebut sudah bersih karena sebelum masuk penampungan, sudah melewati proses penyaringan sebanyak tiga kali, yaitu lapisan batu kerikil, lapisan pasir, yaitu lapisan batu kerikil, lapisan pa dan lapisan batu kerikil. Teknologi penangkap air Agus Maryono, peneliti sungai, banjir, dan ekohidraulika, yang juga dosen Magister Sistem Teknik Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan, menangkap air hujan sudah biasa dilakukan masyarakat di daerah sulit air di Gunungkidul atau Jambi, Sulawesi, dan kawasan lainnya. Teknologi menangkap air hujan pun makin maju. Bahkan, negara-negara maju yang mengalami musim dingin menggunakan alat untuk mengonversi air hujan atau salju menjadi air bersih dan bahkan bisa diminum. Teknik yang diaplikasikan masyarakat Gunungkidul pun sudah diterapkan di Magister Sistem Teknik UGM dengan memasang tiga peranti penangkap air hujan. Talang-talang dipasang untuk mengalirkan air hujan ke tempat penampung air hujan. Di bagian tengah talang dipasang instalasi penghalau daun dan debu sebelum masuk ke bak penampung besar.“Namun, sayangnya, untuk di Indonesia, teknologi ini sangat jarang diterapkan di daerah perkotaan. Pasalnya, belum ada kesadaran dari masyarakat,“ kata Agus. Air hujan lazimnya hanya digunakan untuk keperluan darurat. Namun, dengan semakin meningkatnya kebutuhan air, kata Agus, sudah saatnya kita bergerak dari yang terbiasa mendapatkan kemudahan mengakses air menuju kultur menangkap air hujan. Pasalnya, krisis air sudah di depan mata. “Dengan menampung air selama musim hujan, airnya akan cukup untuk kebutuhan di industri untuk kurun waktu tertentu. ndustri untuk kurun waktu tertentu. Untuk rumah tangga, air hujan bisa dimanfaatkan untuk minum, memasak, menyiram tanaman, mengisi kolam, ataupun untuk kegiatan-kegiatan keseharian kegiatan-kegiatan keseharian yang lain, seperti mencuci mobil dan membersih kan lantai,“ kata Agus. ARDI TERISTI HARDI Post Date : 12 Januari 2013 |