Diare akut merupakan gangguan pencernaan yang tidak menyenangkan. Hampir setiap orang pernah mengalaminya. Di Amerika Serikat diperkirakan mereka mengalami diare 4 kali dalam setahun. Untuk di Indonesia angkanya tidak diketahui dengan pasti. Bisa jadi kejadiannya bisa lebih dari itu.
Data dari Subdit Diare Departemen Kesehatan tahun 2000 menunjukkan angka diare di Indonesia 301 per 1.000 penduduk. Data Depkes menunjukkan, dari 1.000 bayi yang lahir, 50 di antaranya meninggal dunia karena diare. Di seluruh dunia, setiap tahun setidaknya 1,6 juta anak meninggal dunia karena diare. Ini artinya setiap 30 detik, satu anak meninggal dunia karena penyakit ini.
Dengan kejadian di hampir sepanjang tahun, diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua kelompok umur. Berdasarkan survei kesehatan nasional (Surkenas, 2001), diare dikategorikan sebagai penyakit pembunuh balita terbesar kedua di Indonesia. Di tahun tersebut, 13,2 persen balita di Indonesia meninggal karena diare.
Dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 juga menyebutkan angka kematian balita yang disebabkan diare 75 per 100 ribu penduduk. Angka kematian bayi terbesar disebabkan diare.
Kebanyakan Anak-Anak
Data lain dari RSCM tahun 1998 menunjukkan, dari 1.146 pasien yang mendapat perawatan satu hari (one day care, ODC) sekitar 70 persennya adalah pasien diare. Dan 80 persen dari pasien diare tersebut adalah anak-anak. Diare terkait dengan kebiasaan hidup sehat. Hasil riset USAID-Environment Services Program (ESP) dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkapkan, perilaku bersih dan sanitasi yang buruk menyebabkan diare.
Penanganan makanan yang tidak benar juga menjadi penyebab diare. Banyak dari mereka yang mencuci sayuran dan buah dengan cara yang tidak benar, sehingga berisiko terkontaminasi bakteri kembali. Seharusnya mencuci sayuran atau buah menggunakan air mengalir, bukan dengan air dalam tampungan. Begitu juga dengan pengolahan makanan yang kurang higienis.
Dalam hal pemanfaatan sanitasi, masyarakat umumnya memiliki beberapa pilihan akses yang digunakan secara bergantian, sebelum dialirkan ke sungai. Khusus bagi masyarakat rural dan peri-urban, meski memiliki toilet di rumah, mereka juga masih memanfaatkan “toilet terbuka” seperti sungai atau empang.
Sejumlah hambatan dalam sanitasi terungkap lewat studi yang dilakukan USAID-ESP. Mereka mendapati masyarakat rural tak memiliki septic tank karena alasan ekonomi, masyarakat urban tidak menyukai karena takut terjadi kontaminasi terhadap air tanah serta tidak tersedianya layanan yang baik untuk penyedotan septic tank.
Kemudian, masyarakat peri-urban menjadikan kepraktisan dan norma umum (semua orang melakukannya) sebagai alasan utama untuk menyalurkan kotorannya ke sungai. Tidak heran, sungai-sungai di Indonesia bisa disebut sebagai jamban raksasa karena masyarakat Indonesia umumnya menggunakan sungai untuk buang air.
Masyarakat urban di perkotaan yang tinggal di gang-gang sempit atau rumah-rumah petak di Jakarta umumnya tidak mempunyai lahan besar untuk membangun septic tank. Karena itu, mereka biasanya tak memiliki jamban. Jika kemudian mereka memiliki sumur, umumnya tidak diberi pembatas semen. Kala hujan tiba, kotoran yang ada di tanah terbawa air hujan masuk ke dalam sumur. Air yang sudah terkontaminasi inilah yang memudahkan terjadinya diare.
Cuci Tangan saja
Sejatinya, diare bisa dicegah dengan metode sederhana dan berbiaya rendah. Cara paling mudah adalah menerapkan perilaku mencuci tangan dengan sabun pada saat yang tepat. Waktu yang tepat di sini menunjukkan pada aktivitas berkontak langsung dengan benda-benda yang kotor.
Pernyataan ini pun ditegaskan oleh Direktur Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Dr. I Nyoman Kandun, MPH. Kandun meyakini bahwa diare dapat dicegah dengan perilaku higienis. Dengan jamban dan air bersih (selebihnya cuci tangan) diare dapat dicegah sampai 53 persen. “Dengan cuci tangan pakai sabun, risiko diare bisa dikurangi 47 persen,” katanya.
Lalu, mengapa setiap tahun kasus diare selalu berulang dan memakan korban, terutama di kota-kota besar? Selain proses edukasi yang terus berlanjut dan pembenahan program sanitasi, tak kalah penting adalah pemahaman penatalaksanaan diare secara tepat.
Pasalnya, seperti pernah diungkapkan Kasubdit Diare dan Penyakit Pencernaan Depkes, I Wayan Widaya, 60 persen penderita diare diberi obat antidiare dan 34 obat antibiotik. Cara ini jelas keliru karena obat antidiare mengakibatkan feses mengeras sehingga susah keluar, sedangkan antibiotik malah tidak efektif. Pemberian oralit bagi penderita diare sudah cukup dan tepat. @ Diana Yunita Sari/Lalang Ken Handita
Post Date : 11 Januari 2008
|