|
Di daerah terpencil, pembangunan sering kali jauh tertinggal. Bangunan sarana umum sering kali tidak memiliki fasilitas yang memadai, termasuk sanitasi. Di Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sebuah pesantren bahkan tak punya sarana mandi cuci kakus (MCK). Mereka lebih akrab dengan istilah "WC Terbang". Pesantren Najmul Huda Al-Adiziyah terletak di Desa Cumbok Niwa, salah satu kawasan terpencil di Kecamatan Sakti, Kota Bakti, Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kondisi fisik Pesantren Najmul sangat memprihatinkan. Selain konstruksi rusak, dinding bangunan pesantren sudah bolong-bolong. Atapnya hanya terbuat dari daun rumbia yang sering bocor saat hujan. Selama bertahun-tahun, Pesantren Najmul dihuni nyaris tanpa renovasi. Hampir seluruh fisik bangunan sudah rusak berat. Pesantren yang dikelilingi sawah dan hutan itu juga tidak memiliki sarana sanitasi yang memadai. Para penghuninya terpaksa menggunakan cara ala kadarnya untuk buang hajat atau mandi. Tak heran, mereka terpaksa melakukan solusi "WC Terbang". Hal itu diakui Pemimpin Pesantren Najmul Huda Al-Adiziyah, Tengku Abdullah Musa, kepada Pembaruan, Rabu (19/4), saat menyambut kedatangan rombongan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Pusat dan Pemimpin Umum/Perusahaan PT Media Interaksi Utama penerbit Harian Umum Suara Pembaruan, Sasongko Soedarjo MBA. Dalam kesempatan tersebut, Tengku Abdullah Musa mengatakan, Pesantren Najmul dihuni 209 santri terdiri dari 109 pria dan 100 wanita. Para santri yang belajar di tempat itu sama sekali tidak dipungut biaya. Hal itu disebabkan Pesantren Najmul banyak menampung anak-anak korban tsunami dan anak yatim serta fakir-miskin. Untuk biaya sehari-hari, Tengku Abdullah hanya mengandalkan bantuan sumbangan dari dermawan dari masyarakat, sumbangan PB NU dan bantuan Dinas Sosial sebesar Rp 2.250 per hari per orang. Tengku menyampaikan terima kasih atas sumbangan dan bantuan yang telah diberikan. Saat ini, dia bersyukur dapat menerima bantuan sarana sanitasi berupa fasilitas MCK. Bantuan yang berasal dari sumbangan pembaca Suara Pembaruan itu merupakan bantuan yang pertama sekali dalam sejarah pesantren. Atas kepedulian para penyumbang itu, Tengku berkali-kali mengucapkan terima kasih. Dia merasa terharu, sebab sejak berdiri pada 1990 hingga akhirnya 2006, pesantren Najmul belum pernah memiliki sarana sanitasi yang modern. Para penghuni pesantren terpaksa melakukan cara tradisional. "Sebelumnya di sini hanya ada 'WC Terbang'. Jika malam hari, para santri buang air besar dalam kantong plastik. Setelah itu, mereka membuangnya di hutan. Kondisi ini hanya terjadi pada malam hari karena anak-anak umumnya tidak berani jalan ke sungai (kali) yang jaraknya 200 meter, dekat kawasan hutan," katanya. Sejak kebiasaan itu berlangsung, para santri lalu mengenal istilah "WC Terbang". Kini setelah ada bantuan dari pembaca Pembaruan, para santri tidak lagi menerapkan kebiasaan "WC Terbang". Mereka sudah bisa membuang air besar di kompleks pesantren. Sementara itu, Pemimpin Umum/Perusahaan PT Media Interaksi Utama, Sasongko Soedarjo mengatakan, pembangunan sarana sanitasi didirikan di pesantren Najmul dimungkinkan karena ada dana bantuan dari para pembaca. Bantuan itu disalurkan untuk korban tsunami. Kebetulan, Pesantren Najmul memang menampung anak korban tsunami. "Oleh karena itu, amanah pembaca kami salurkan di sini. Pembaruan juga telah membangun 14 sarana sanitasi yang tersebar di sejumlah daerah dalam Provinsi NAD antara lain di Aceh Besar, Aceh Pidie, Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Aceh Utara serta menyalurkan ratusan unit alat pengeras suara kepada ratusan masjid, meunasah, pesantren dan sekolah," katanya. Hasan (18), seorang santri di Pesantren Najmul mengaku lebih tenang sejak ada sarana sanitasi di lokasi pesantren. Pada malam hari, mereka tidak lagi repot ketika hendak buang air besar. Sebelumnya mereka harus mencari plastik dulu dan buang hajat di tempat sepi, kemudian melemparkannya ke hutan. Lain lagi kisah warga Desa Masjid Meugit Kayee Payang, Kecamatan Bandar Dua Kabupaten Pidie. Di daerah itu, ribuan orang selama ini saat hendak membuang air besar harus pergi ke kali yang berjarak ratusan meter. Mereka juga mencari semak-semak di hutan. Sudah bertahun-tahun, mereka tidak tersedia sarana sanitasi yang baik. Tetapi sejak pertengahan bulan Maret lalu, warga desa boleh bernapas lega. Di masjid kawasan terpencil milik masyarakat enam desa itu, Pembaruan membangun WC atas dana bantuan dari para pembaca. Bangunan konstruksi beton itu terdiri dari enam bilik. Kini, ratusan orang sudah mengantre rapi untuk melepaskan hajatnya. Kepala Desa Muegit Kayee Payang Sulaiman (52) yang mewakili para warga menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas bantuan tersebut. [Pembaruan/Muhammad Hamzah] Post Date : 24 April 2006 |