Jalur Air Minum pun Tercemar Logam Berat

Sumber:Media Indonesia - 17 September 2008
Kategori:Air Minum

PERKOTAAN menghadapi tantangan lingkungan yang kompleks. Di satu sisi populasi bertambah. Di sisi lain, infrastruktur yang tersedia tidak dapat mengimbangi cepatnya perkembangan penduduk. 

PADA sidang umum ke-47 PBB atau secara populer disebut sebagai Earth Summit 22 Desember 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, tercetus masalah bahwa kebutuhan air bersih semakin meningkat.

Meningkat karena jumlah penduduk dunia semakin bertambah, dan persediaan air bersih semakin menipis akibat pencemaran atau masalah lingkungan lain.

Di Jakarta, Wali Kota Jakarta Raya Sjamsuridjal mencetuskan bahwa masalah air minum merupakan salah satu masalah vital yang dihadapi Jakarta. Maka dari itu, pimpinan kepemerintahan di Jakarta yang berkuasa pada 1951-1953 itu membangun penyaringan air di Karet, penambahan pipa, dan meningkatkan suplai air dari Bogor untuk meningkatkan ketersediaan air minum.

Tapi jumlah penduduk DKI yang semakin padat membuat kebutuhan air semakin meningkat. Selain itu, pencemaran sungai yang menjadi sumber air baku kian sulit teratasi.

Kesadaran masyarakat megapolitan masih rendah untuk menjaga lingkungan, terutama sumber air. Akibatnya, pengolahan air agar layak dikonsumsi membutuhkan biaya tinggi, pada akhirnya masyarakat penggunanya yang harus membayar mahal.

Pasokan air minum ke Jakarta berasal dari Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Air itu dialirkan melalui Saluran Tarum Barat, atau yang dikenal sebagai Kalimalang. Tapi dalam perjalanannya, aliran Kalimalang bersinggungan dengan tiga sungai, yaitu Sungai Cibeet, Sungai Cikarang, dan Kali Bekasi.

Tercampurnya air dari ketiga sungai itu membuat pasokan air sulit bebas dari polusi. Sejumlah pabrik yang berada di sisi sungai disinyalir membuang limbahnya ke sana. Limbah pabrik itu bersatu dengan limbah rumah tangga yang tinggal di bantaran sungai.

External Relation & Communication Director Aetra Rhamses Simanjuntak mengungkapkan, Aetra, salah satu operator air minum di Jakarta, telah melakukan penelitian. Hasilnya, setelah bercampur dengan ketiga sungai, Saluran Tarum Barat tercemar zat logam berat seperti besi, e-coli, coliform, dan banyak zat lainnya.

Menurut Rhamses, tercemarnya pasokan air baku disebabkan alur pasokan air sepanjang 77 km itu dialiri secara terbuka, atau tanpa pipa. "Kalau dipasang pipa dari Jatiluhur ke Jakarta, otomatis pasokan airnya relatif lebih bersih."

Sebanyak empat kali dalam setahun, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta melakukan pemantauan di 15 lokasi sepanjang hulu-hilir Sungai Ciliwung. Hasilnya, mulai dari Attaawun di Kabupaten Bogor sampai kawasan Pantai Indah Kapuk di Jakarta, tak ada yang tak tercemar berat.

Program Kali Bersih pada dekade 1990-an untuk menurunkan beban pencemaran. Awalnya 1989 diikuti 96 perusahaan, 10 tahun kemudian sudah 698 perusahaan peserta. Selain industri, ada juga rumah sakit, perkantoran, dan hotel. Kewajiban anggota program ini adalah mengelola air bekas cuci dan mandi.

Tetapi kualitas air sungai tetap menurun dari tahun ke tahun. Penyebabnya ternyata ada beban pencemar lain yang lebih bermakna terhadap penurunan kualitas air sungai. Sumbernya adalah noninstansional atau limbah domestik.

Fakta ini menunjukkan satu peringatan serius sekaligus ancaman karena pada 2020 Indonesia diprediksi memiliki 260 juta jiwa penduduk. Sebagian besar akan berimpitan di perkotaan.

Untuk mendapatkan air, orang harus antre panjang bahkan saling berebut seperti peristiwa bagi-bagi sedekah di Pasuruan, Jawa Timur, yang menewaskan 21 orang. (Aries Wijaksena)



Post Date : 17 September 2008