|
DETIK pergantian tahun 2004 tiba, pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang yang sekitar 15 tahun dikelola dan dimanfaatkan untuk menampung sampah warga DKI Jakarta beralih tangan ke Pemerintah Kota Bekasi. Sayangnya, pengalihan pengelolaan yang dibangga-banggakan Pemkot Bekasi bisa menghasilkan pendapatan asli daerah yang jauh lebih besar dari dana kompensasi dari DKI itu tak berbuah manis. Tak sedikit pun penyerahan wewenang pengelolaan itu dipandang sebagai kebanggaan oleh warga Desa Cikiwul, Ciketing Udik, dan Sumur Batu yang lokasinya berbatasan langsung dengan TPA Bantar Gebang. Begitu Wakil Wali Kota Bekasi Mochtar Muhamad dan Kepala Dinas Kebersihan DKI Selamat Limbong menandatangani berita acara penyerahan pengelolaan dari DKI ke Bekasi terhitung tanggal 1 Januari 2004 pukul 00.30, ratusan warga tiga desa yang sudah berjaga-jaga di Pangkalan Lima, Bantar Gebang, yang merupakan satu-satunya jalan masuk truk sampah DKI ke lokasi pembuangan seluas 108 hektar itu, langsung menghalau sopir truk sampah yang melintas. Para sopir pun pasrah dan bergegas memutar haluan ke arah lain meskipun tak tahu ke mana muatan sampah harus dimuntahkan. Penghadangan truk sampah DKI juga merembet ke truk sampah Kota Bekasi. Itu dilakukan sebagai wujud penolakan terhadap kesepakatan penggunaan kembali TPA Bantar Gebang oleh DKI hingga batas waktu yang belum ditetapkan. Kesepakatan yang ditandatangani Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tertanggal 22 Desember 2003 itu tertuang dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi tentang kerja sama TPA Bantar Gebang pascaberakhirnya perjanjian tambahan atau adendum kedua. Padahal, berkali-kali warga sudah menyatakan penolakan terhadap pembukaan kembali TPA yang seharusnya berakhir tanggal 31 Desember 2003 lalu. Tentu saja penghadangan itu tak didukung Pemkot Bekasi dan wakil rakyat terhormat yang duduk di DPRD. Tetapi warga sudah membulatkan tekad. "Tak peduli wewenang pengelolaan di Bekasi atau DKI, warga di sini sudah lama menderita karena pencemaran dan kerusakan lingkungan serta masalah sosial lainnya. Sudah cukup kami dibohongi. Apalagi perpanjangan TPA itu sama sekali tidak pernah melibatkan masyarakat. Penghadangan truk sampah baru akan berhenti kalau Pemkot Bekasi bilang TPA Bantar Gebang ditutup," demikian argumentasi sejumlah warga yang mendukung penghadangan. Wajar jika warga Bantar Gebang bereaksi keras terhadap pembukaan kembali TPA Bantar Gebang yang lebih sering dianggap sebagai sumber penderitaan warga. Pasalnya, sampai akhir tahun pun warga tetap diliputi kebimbangan mengenai nasib TPA Bantar Gebang karena DPRD Bekasi tidak menunjukkan sikap tegas. Ketika Pemkot Bekasi melangkah lebih jauh dengan membuat kesepakatan baru dengan DKI meskipun dengan embel-embel pengelolaan diberikan ke Bekasi, lagi-lagi DPRD tidak bereaksi. Dengan entengnya Ketua DPRD Bekasi Ismail Ibrahim mengatakan, DPRD memang tidak perlu mempersoalkan perpanjangan kembali TPA Bantar Gebang. Pasalnya, kesepakatan antara Wali Kota Bekasi dan Gubernur DKI pascaberakhirnya perjanjian tambahan kedua dinilai bukan kerja sama baru, tetapi hanya sebatas memanfaatkan kevakuman hukum hingga disetujuinya pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Bekasi yang akan mengelola TPA. Pembahasan soal TPA Bantar Gebang pun diakui tak bisa maksimal dilaksanakan karena waktunya yang mepet dan kesibukan sejumlah anggota DPRD dalam pencalonan legislatif untuk Pemilu 2004. Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Abdul Manan mengatakan, kesepakatan yang dibuat Pemkot Bekasi dengan Pemprov DKI sudah diajukan sebelumnya ke DPRD bersama- sama dengan draf pembentukan BUMD. Karena tak ada satu pun masukan dari anggota DPRD soal inisiatif eksekutif tersebut, maka apa yang diputuskan Wali Kota Bekasi sudah sesuai mekanisme. Menurut warga, yang lebih mengesalkan lagi, mereka tidak pernah ditanyai pendapat dan masukan soal rencana perpanjangan itu. Apalagi dilibatkan secara langsung untuk mengawasi pengelolaan TPA Bantar Gebang dan penggunaan dana kompensasi yang dikucurkan DKI. Tiba-tiba saja warga sudah dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus siap menerima bahwa TPA Bantar Gebang yang belum juga dikelola secara profesional itu kembali digunakan. Iming-imingnya, TPA Bantar Gebang itu bakal menjadi tambang uang bagi Kota Bekasi. KINI, warga sekitar TPA tak lagi melakukan penghadangan. Mereka sudah setuju TPA kembali dioperasikan setelah sejumlah tuntutan mereka dipenuhi. Bukan sekadar dana kompensasi Rp 50.000 per keluarga (total 12.000 keluarga), tetapi juga sejumlah tuntutan lain yang memberikan manfaat bagi warga sekitar. Yang perlu disadari, penolakan warga tentu akan kembali terulang jika pengelolaannya tetap seperti sekarang ini. (Ester Lince Napitupulu) Post Date : 05 Januari 2004 |