|
Jakarta, Kompas - Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta meminta Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta segera memproses pengaduan masyarakat berkaitan dengan penjualan aset yang dilakukan mitra swasta PAM Jaya. ”Pengaduan masalah penjualan aset ini sudah berlangsung delapan bulan, tetapi hingga kini belum terlihat masalah ini akan diselesaikan,” kata Tama S Langkun dari Indonesia Corruption Watch yang tergabung dalam koalisi, Selasa (14/2). Keinginan koalisi itu disampaikan kepada Kepala Kejati DKI Jakarta Donny Kadnezar bersama jajarannya di ruang rapat Kepala Kejati. Pertemuan berlangsung sekitar satu jam. Mereka juga mendiskusikan segala hal yang berkaitan dengan kerja sama antara PAM Jaya dan kedua mitranya yang telah berlangsung sejak 1998. Masalah yang diadukan adalah penjualan aset milik PAM Jaya berupa mobil dan sepeda motor yang telah habis masa pakainya. Nilai penjualan aset itu mencapai Rp 3,04 miliar. Penjualan aset ini ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada laporan keuangan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), salah satu mitra PAM Jaya, tahun 2003-2007. Hasil penjualan aset ini tidak disetorkan kepada PAM Jaya, tetapi masuk ke rekening PT Palyja dan dicatat sebagai pendapatan PT Palyja. ”Penjualan aset ini jelas merugikan PAM Jaya dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena aset itu telah dibayar PAM Jaya berupa imbalan kepada Palyja sehingga statusnya adalah barang milik PAM Jaya dan tidak bisa dijual secara sembarangan,” kata Tama. Penjualan aset itu, menurut hasil pemeriksaan BPK, dilakukan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari PAM Jaya. Bahkan, walaupun telah ada penemuan BPK, Palyja tetap menjual aset tersebut hingga tahun 2010. Total nilai aset yang dijual hingga 2010 mencapai Rp 4,33 miliar. PT Aetra Air Jakarta dan perusahaan pendahulunya, PT Thames PAM Jaya, juga melakukan hal sama. Mereka juga menjual aset hingga Rp 3,21 miliar sampai akhir 2010. Namun, ketika BPK mengumumkan penemuan ini, Aetra memutuskan untuk mengembalikan aset itu dengan cara mengurangi utang PAM Jaya kepada Aetra. Apa yang dilakukan Palyja ini telah melanggar perjanjian kerja sama dan perundang-undangan yang ada. Dalam perjanjian dikatakan mitra tidak boleh melepaskan aset dan jika akan melepasnya harus ada izin tertulis dari PAM Jaya. ”Kondisi ini berpotensi melanggar UU Tindak Pidana Korupsi dengan modus penggelapan,” ujar Tama. Prinsip kehati-hatian Mengenai desakan koalisi ini, Donny mengatakan tidak akan melupakan kasus tersebut. ”Kami tetap bekerja walaupun tidak mengumumkan kepada semua pihak. Ini demi prinsip kehati-hatian. Bersabarlah, masih ada beberapa hal yang harus kami penuhi sebelum menentukan kelanjutan kasus ini,” katanya. Dia menambahkan, perkara ini perlu mendapat pertimbangan dan masukan sebanyak mungkin karena Kejati DKI tidak mau kasus dimentahkan di pengadilan. ”Ada beberapa pelaku dengan kasus yang diselidiki dan disidik Kejati DKI dinyatakan bebas oleh pengadilan karena ada celah untuk membebaskan. Jadi, kami harus melakukan persiapan yang sematang-matangnya. Itu butuh masukan dan pemikiran dari banyak pihak,” kata Donny. Herawati Prasetyo, Wakil Presiden Direktur Palyja, ketika dimintai konfirmasi semalam mengatakan, masalah penjualan aset itu sebenarnya bukanlah kasus. ”Apa yang kami lakukan sudah sesuai dengan apa yang tertuang dalam kontrak kerja sama,” tutur Herawati. Dia menjelaskan, aset bergerak itu sudah dijual dan uangnya masuk dalam investasi proyek. ”Semuanya sudah kami laporkan ke BPK, Bapepam, PAM Jaya, dan semua pihak terkait. Tidak ada masalah,” ujarnya. Selain ke Kejati, koalisi juga telah mengadukan soal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. (ARN) Post Date : 15 Februari 2012 |