|
Permasalahan banjir dan sampah yang memenuhi sungai di Jakarta tidak akan pernah bisa diselesaikan sendiri oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai kawasan muara dari 13 sungai, mengatasi sampah dan banjir di ibu kota negara ini sangat terkait dengan beberapa pemerintah daerah tempat kawasan hulu sungai berada. Namun, hingga saat ini segala persoalan yang ada baru ditangani secara parsial. Hingga Minggu (23/12), pukul 11.00, banjir akibat luapan Sungai Ciliwung yang terjadi sejak dini hari baru surut sebagian di kawasan Kelurahan Cawang, Kramatjati, Jakarta Timur. Menurut pengamatan Bahir (50), warga setempat, endapan sampah menyebabkan banjir luapan Ciliwung di tempat tinggalnya sekarang ini semakin lama surut. Sungai menjadi dangkal dan alurnya juga jadi berubah. ”Beda dengan saat saya kecil, alur sungai di dekat rumah saya ini relatif lurus. Tetapi sekarang banyak gundukan sampah di dekat tepiannya dan gundukannya selalu berpindah-pindah,” tutur warga asli Cawang ini. Permasalahan yang digambarkan Bahir tak lain persoalan kawasan bantaran Sungai Ciliwung dan sejumlah sungai lainnya di Jakarta, dengan karakteristik umum bantarannya dipadati penduduk dan industri rumah tangga. Ditambah perilaku warga yang masih membuang sampah ke sungai. Bahkan kebiasaan menjadikan Sungai Ciliwung sebagai tempat pembuangan sampah juga sudah terjadi sejak dari kawasan hulu. Komunitas Peduli Ciliwung Bogor pernah menggelar susur Sungai Ciliwung tahun 2011 dari hulu di kawasan Puncak hingga ke Condet, Jakarta. Hasilnya, ditemukan banyak sampah di Ciliwung sejak di Puncak hingga Jakarta. Di pintu air Kalibaru depan Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur, selama musim hujan ini kerap didapati sampah berupa kayu gelondongan yang sudah pasti datangnya juga dari hulu. Warga setempat di Cililitan biasa menyebut sampah gelondongan kayu itu sampah kiriman dari ”atas”. Belum lagi limbah industri rumah tangga, seperti limbah pabrik tahu di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Deretan WC dan kamar mandi apung di Kampung Melayu hingga sebelum Pintu Air Manggarai menambah kondisi lingkungan Sungai Ciliwung semakin buruk. Semakin sempit Memburuknya kondisi lingkungan sungai tak hanya terjadi di bantaran. Daerah aliran sungai yang semestinya bisa menjadi kawasan resapan kini juga semakin sempit akibat alih fungsi lahan. Air hujan tak lagi dapat meresap ke dalam tanah, tetapi menjadi air permukaan dan menyebabkan Sungai Ciliwung lebih mudah meluap saat curah hujan tinggi. Seperti dirilis Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung di situs bebasbanjir2025.wordpress.com, sejak tahun 1993 di sejumlah kawasan di Jabodetabek terjadi alih fungsi lahan seluas 9.149,84 hektar. Peralihan itu dari areal perkebunan yang berstatus hak guna usaha menjadi hak guna bangunan dan hak milik. Forest Watch Indonesia mencatat tutupan daerah aliran sungai Ciliwung berkurang 5.000 hektar dalam kurun waktu 2000-2009. Akibatnya, air hujan menjadi air permukaan dan menyebabkan Sungai Ciliwung lebih mudah meluap saat curah hujan tinggi. Data dari BPSDA Sungai Ciliwung Cisadane, pada tahun 2007, dalam waktu enam jam ketinggian Ciliwung naik dari 40 sentimeter menjadi 240 sentimeter atau Siaga I banjir di Bendung Katulampa. Menurut peneliti senior Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor, Ernan Rustiadi, persoalan di Puncak itu tidak bisa selesai dengan Kabupaten Bogor, tetapi juga terkait dengan manfaat yang diterima dan dampak bagi Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo juga harus mau ”blusukan” hingga ke kawasan Puncak. Bukan hendak ikut campur persoalan Kabupaten Bogor atau Jawa Barat, tetapi untuk ikut memahami akar persoalan banjir dan sampah yang dihadapi DKI Jakarta. Dia mencontohkan, Ciliwung kotor bukan hanya karena orang Jakarta yang membuang sampah ke sana, tetapi sejak di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kota Depok sudah banyak warga yang juga membuang sampah ke sungai itu. ”Bahwa Ciliwung juga rusak karena tidak terkelolanya ruang terbuka hijau di Puncak, Bogor, ini harus juga dipahami oleh Gubernur DKI Jakarta,” kata Ernan. Kerja sama dengan wilayah hulu, kata Kepala Seksi Program pada Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung di Bogor Nurhasni, bisa dilakukan dengan model sistem insentif lingkungan (payment environmental system) dari wilayah hilir ke hulu. Hal ini perlu dilakukan agar daerah hulu mau menjaga tutupan hutan di kawasan atas. Model ini juga bisa dilakukan dengan mendorong agar vegetasi permanen bisa mencapai minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai. ”Itu juga perlu dilakukan di sungai-sungai lain. Sungai Ciliwung, Angke, dan Pesanggrahan merupakan sungai yang hulunya berada di Bogor dan hilirnya di Jakarta,” kata Nurhasni. Terkait Ciliwung, Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo, telah memerintahkan jajarannya, khususnya Dinas Kebersihan, untuk memetakan lokasi pembuangan sampah liar di sepanjang Ciliwung di Jakarta. Saat ini, sedikitnya ada 63 lokasi sampah liar, tetapi data detailnya masih dalam penggodokan. Jokowi pun berinisiatif menata bantaran kali dengan program relokasi yang dinamainya Kampung Deret. Namun, hingga mendekati akhir tiga bulan pertama kepemimpinan Jokowi-Basuki, program Kampung Deret belum jelas benar detail perencanaannya. Gerakan akar rumput Meski tak ada gerakan yang pasti dari pemerintah, terjadi gerakan dari akar rumput. Sejumlah warga dan kelompok masyarakat berupaya untuk membuat Ciliwung bersih dan lestari. Tengoklah warga RT 008 RW 001 di Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, menjaga Sungai Ciliwung dari kerusakan dengan cara melindungi bantaran sungai itu dari hunian. Mulanya larangan mendirikan bangunan di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung itu diterapkan oleh Ketua RT 008 Abdul Salam sejak tahun 2000. ”Saya melihat kalau tidak dari warga sendiri yang bergerak, Sungai Ciliwung ini akan rusak.” Abdul Salam menuturkan, ia prihatin dengan kondisi Sungai Ciliwung di kawasan Kampung Melayu yang kini dipadati hunian. Akibatnya, setiap tahun air pada bagian alur sungai itu meluap saat hujan dan menyebabkan banjir di sebagian areal Kampung Melayu. Belajar dari kondisi Kampung Melayu, dia membuat kebijakan secara tegas di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung di RT 008 bebas dari bangunan. Setiap lahan yang dijual warga dilarang mengikutsertakan areal bantaran Ciliwung. Sesuai peraturan pemerintah yang diketahuinya, Abdul Salam melarang warga mendirikan hunian dalam radius 50 meter dari tengah sungai. Hampir 12 tahun peraturan yang dibuat Abdul Salam berjalan, bantaran Ciliwung di RT 008 RW 001 pun bersih dari bangunan. Warga memanfaatkannya untuk kegiatan kesenian, olahraga, dan juga berkumpul. Berbagai macam pohon, seperti melinjo, kapuk, dan berbagai tanaman keras, ditanam di areal bantaran sungai itu. (GAL/NEL/MDN) Post Date : 24 Desember 2012 |