KITA harus berterima kasih kepada hujan yang agak besar yang jatuh menimpa Jakarta, awal pekan ini. Hujan sekitar satu jam itu, seakan memberi pesan kepada warga Jakarta: bersiaplah menghadapi "agenda" rutin tahunan itu. Betapa tidak nikmatnya pengaruh hujan satu jam itu: genangan air di mana-mana dan kemacetan yang ditimbulkan seperti melumpuhkan Jakarta.
Jakarta yang rendah, memang seperti ditakdirkan untuk mengakrabi air. Rob atau air laut, sudah lama membasahi daerah seperti Muara Baru. Intrusi air laut juga sudah sampai kawasan sekitar Monas. Kemudian penurunan muka tanah (subduksi) juga menjadikan Jakarta makin rendah.
Saat ini terdapat 62 titik banjir yang ada di DKI Jakarta. Dan itu kabarnya berkurang dari 78 titik yang sebelumnya terdata. Selesainya kanal banjir timur bisa jadi menjadi faktor pengurang jumlah titik banjir itu.
Kota Jakarta memang memiliki banyak sumber bencana, di antaranya kota ini dilewati 13 aliran sungai, dikelilingi oleh 12 subduksi dan sesar, ruang terbuka hijau yang belum mencapai 13 persen, serta 40 persen dataran rendah mengalami penurunan muka tanah 6 sampai 18 sentimeter per tahun.
Satu lagi, kepadatan penduduk yang tinggi ditambah tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah, menjadi pendorong banjir. Ada juga kelompok warga yang "tinggi" kesadarannya tentang banjir sehingga mereka bisa mengakrabi air itu. "Saking" tingginya kesadaran itu, sampai-sampai sejumlah orang di pinggiran Sungai Ciliwung, seperti kawasan Kampung Pulo, Cawang, Jakarta Timur, sudah hapal bagaimana berperilaku ketika banjir datang. Mereka sangat pasarah dengan banjir.
Intinya, Jakarta memang tak bisa dipisahkan dari kisah banjir. Dan itu sudah menjadi kisah nenek moyang. Alkisah, Jakarta yang waktu itu disebut Batavia, dilanda banjir besar tahun 1918. Pemerintah Belanda lantas menunjuk Herman van Breen untuk memimpin Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir secara terpadu. Van Breen berhasil menyusun prinsip-prinsip pencegahan banjir. Bahkan karya van Breen dijadikan acuan pemerintah mengatasi banjir di Jakarta. Konsepnya sederhana, mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota.
Lahirlah apa yang kita sebut sekarang sebagai Pintu Air Manggarai dan kanal di sebelah barat yang secara salah kaprah disebut banjir kanal barat. Van Breen merekomendasikan pembangunan saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya air itu dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Konsep serupa pula yang akhirnya mengilhami pembangunan kanal banjir timur yang kini sudah selesai.
Meski telah dibangun dua kanal besar, pintu air, dan kanal-kanal lain, nyatanya banjir masih tetap melanda Jakarta.mengapa? Jawabnya adalah adsa faktor bawaan kota ini yang menjadikan banjir tak mungkin hilang. Daerah yang rendah, tempat bermuaranya 13 sungai, dan perilaku masyarakat yang buruk menjadi penyebab utama. Tali temali tiga penyebab utama itu menjadikan persoalan banjir akhirnya rumit.
Rumitnya persoalan banjir di Jakarta menyebabkan Gubernur Joko Widodo menyebutkan, dewa pun tak akan bisa mengatasi banjir, apalagi seorang manusia seperti gubernur. Perlu waktu berpuluh-puluh tahun. Untuk membangun kanal banjir timur yang "hanya" mengurangi banjir sekitar 40 persen di Jakarta Timur saja diperlukan waktu sekitar 20 tahun terhitung dimulainya studi pada 1991. Itu pun hari ini sebenarnya kanal timur belumlah selesai benar.
Banyak ahli menilai, membangun sarana fisik itu mudah. Asal ada uang, pastilah bisa. Yang paling sulit adalah mengatur perilaku warga, dari persoalan "sepele" seperti membuang sampah, sampai yang "berat" seperti membangun keikhlasan agar mau pindah dari pinggir sungai ke tempat yang lebih terhormat. Banyak orang yang sepertinya sudah lengket dan "bau sungai" sehingga tak mau pindah dari bantaran kali. Budi Winarno
Post Date : 21 November 2012
|