Jakarta Membutuhkan Warganya

Sumber:Kompas - 01 Desember 2008
Kategori:Banjir di Jakarta

Tahun 2008, kota Jakarta masih diwarnai dengan banjir. Namun, banjir tahun ini lebih didominasi peristiwa banjir air pasang. Puncaknya terjadi saat Jalan Tol Prof Sedyatmo, yang merupakan akses utama ke Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, terendam sebanyak dua kali selama tahun 2008.

Air setinggi 1,65 meter menggenang sepanjang 600 meter di Kilometer 26. Salah satu penyebab banjir rob karena berbagai ulah manusia. Hal itu mengakibatkan menciutnya hutan bakau di pesisir utara Jakarta dan diganti dengan deretan bangunan perumahan dan pusat bisnis sehingga membuat air kehilangan tempat parkir.

Kondisi semakin parah karena permukaan tanah di kota Jakarta turun. Diperkirakan, permukaan tanah turun 2-8 sentimeter per tahun dan intrusi air laut saat ini sudah mencapai kawasan Monas. Amblesnya tanah ini disebabkan penyedotan air tanah untuk sektor rumah tangga dan bisnis secara berlebihan.

Kondisi itu terjadi karena Perusahaan Air Minum Jakarta (PAM) belum mampu menyediakan air bersih untuk seluruh warga Ibu Kota. Sekitar 80 persen penduduk Jakarta masih menggunakan sumur tanah untuk memenuhi kebutuhan air dan hanya 20 persen penduduk yang memiliki akses ke air bersih.

Yang menjadi masalah, penyedotan air yang besar-besaran ini tidak dibarengi dengan perluasan ruang terbuka hijau (RTH). Ruang terbuka hijau akan menyerap air hujan ke dalam tanah sehingga mengganti air tanah yang disedot keluar. Sementara peruntukan RTH di Jakarta dalam Master Plan DKI Jakarta 2000-2010 makin lama makin sedikit dibandingkan master plan sebelumnya.

Dalam Master Plan DKI Jakarta 1965-1985 RTH ditargetkan 27,6 persen. Master Plan DKI Jakarta 1985-2005 dipersempit menjadi 26,1 persen dan menjadi sangat buruk melalui Master Plan 2000-2010 yang hanya mencanangkan RTH seluas 13,94 persen atau 9.544 hektar.

Kondisi di lapangan, RTH Jakarta hanya mencapai 9,6 persen dari total luas Jakarta atau sekitar 6.240 hektar. Jelas luas RTH ini jauh di bawah kondisi ideal yang diamanatkan UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 yang harus mencapai 30 persen atau 19.500 hektar.

Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta Ery Basworo mengatakan, target 13,94 persen RTH hingga tahun 2010 karena penambahan RTH masih terbentur pada masalah tingginya harga lahan dan okupasi pemukim liar pada lahan-lahan kosong yang ada.

Namun, pengamat perkotaan Yayat Supriyatna berpendapat, okupasi lahan-lahan kosong oleh pendatang dari luar kota merupakan bukti adanya kelemahan dalam menjaga aset pemerintah. ”Akibatnya penambahan RTH di Jakarta saat ini selalu terkait dengan penggusuran,” kata Yayat.

Pemprov DKI Jakarta abai

Pengamat perkotaan yang juga Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya mengatakan, pembangunan di Jakarta mengabaikan perhitungan berapa besar air yang harus dialirkan dan berapa besar air yang diserapkan ke tanah. Pembangunan di Jakarta lebih memilih mengalirkan air hujan daripada memasukkannya ke dalam tanah.

”Padahal, mengalirkan air jauh lebih mahal karena selalu harus membuat saluran baru. Sementara kemampuan memelihara saluran juga tidak dimiliki pemerintah. Terbukti banyak drainase yang mampet dan saluran air yang tertutup bangunan,” tegas Marco.

Rendahnya kemampuan pemerintah memelihara saluran air juga disebabkan pemerintah tidak memiliki data mengenai saluran air di Ibu Kota. Satu-satunya data yang ada adalah peta drainase peninggalan zaman Belanda, yang tentu sudah kedaluwarsa.

Lebih dari separuh saluran air di Jakarta telah tertutup, bahkan hilang oleh sampah dan bangunan. Pemandangan bangunan liar marak berdiri di bantaran sungai dan di atas saluran air nyaris menjadi suatu pemandangan yang teramat biasa di Jakarta.

Di kawasan Jati Pinggir, Petamburan, Jakarta Pusat, misalnya, sederet bangunan di atas saluran air dan berdekatan dengan banjir kanal barat (BKB) telah ada sejak 15 tahun lalu.

Data dari Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Jakarta Pusat, baru 65 persen dari bantaran BKB sepanjang 3,5 kilometer yang melintas di wilayah Petamburan yang telah dikeruk dan dibangun tebing/turap. Sisanya sekitar 35 persen masih ditinggali pedagang dan warga yang membangun gubuk liar.

”Tahun ini, tepatnya hingga 15 Desember 2008, adalah batas akhir bagi pemilik bangunan liar untuk membongkar sendiri bangunannya agar pembangunan turap dapat diselesaikan,” kata Kepala Suku Dinas PU Tata Air Jakarta Pusat Agus Priyono.

Marco mengatakan pemerintah harus berani tidak memperpanjang hak guna bangunan bagi bangunan-bangunan di kawasan RTH.

”Ini salah satu tindakan jangka panjang yang harus dilakukan pemerintah sambil melakukan pengerukan dan perbaikan drainase dan mengembalikan fungsi lahan terbuka, serta meningkatkan kapasitas,” tegas Marco.

Melihat persoalan besar yang juga sedikit banyak disebabkan oleh penghuni Jakarta juga, maka sudah saatnya warga Jakarta berperan aktif menjaga lingkungan sekitarnya. Yayat mengatakan pemerintah tidak mampu mengatasi semua persoalan karena aspek kapasitas dan anggaran.

”Jakarta punya potensi. Ada beberapa wilayah Jakarta yang nyaman dan aman karena dikelola baik oleh penghuninya, seperti Kelapa Gading dan Menteng. Begitu juga jika terjadi bencana, warga akan turun tangan sendiri membantu,” kata dia.

Nah, jika memang pemerintah sudah tahu persoalannya dan keterbatasan kemampuannya, mengapa pemerintah tidak mendukung semua potensi ini. (M CALRA WRESTI/NELI TRIANA)



Post Date : 01 Desember 2008