|
JAKARTA -- Pemprov DKI Jakarta sampai saat ini rupanya masih kelimpungan menetapkan areal bagi pengolahan produksi sampahnya. Buktinya, Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi masih menjadi pilihan utama sebagai lokasi pembuangan sampah daerah ini. Bahkan saat ini masih dirancang satu badan usaha bersama yang akan melakukan pengelolaan sampah tersebut. Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi, kata Rama Boedi, kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta sedang merencanakan bentuk badan usaha yang akan dibentuk. Badan usaha ini kelak akan berfungsi mengelola sampah yang ada di Bantargebang. Begitu pun dengan cara pengolahannya. Hal ini dilakukan sebagai langkah ke depan setelah masa kontrak habis. ''Kontrak berakhir Juni 2006, tapi akan kita perpanjang lagi,'' kata Rama Boedi, kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Jumat (27/1). Saat ini belum ada kesepakatan tentang perpanjangan kontrak tersebut. Kemarin dijadwalkan ada pertemuan antara Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso dengan Wali Kota Bekasi, Ahmad Zurfaih. Tapi mereka batal membahas masalah pengelolaan sampah di TPST Bantar Gebang. Ahmad tidak mendatangi kantor gubernur. Menurut Sutiyoso, hal ini terjadi akibat kesalahan komunikasi protokoler kedua pihak. Pemprov DKI menggunakan TPST Bantargebang setelah TPST Cilincing dan Kapuk menimbulkan debu dan asap karena dilakukan dengan cara pembakaran. Kemudian dibuatlah lokasi khusus penanganan sampah di Bantargebang dengan menggunakan sistem sanitary landfill. Ini adalah metode pembuangan akhir sampah dengan teknik tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayakan kesehatan. Di tempat terpisah, anggota Komisi D DPRD Kota Bekasi, Salamat Siahaan memenilai sebaiknya pemkot tak perlu memperpanjang kerja sama dengan Pemprov Jakarta terkait pengelolaan sampah di TPA Bantargebang. "Terbukti selama ini kerja sama antara DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi di TPA Bantargebang tidak menguntungkan," katanya. Dia menegaskan, atas nama komisi dan pribadi sebagai anggota dewan yang dipilih dari daerah pemilihan Bantar Gebang, Salamat meminta agar pemkot mengakhiri kerja sama itu. "Bahkan kalau perlu tutup saja TPA Bantar Gebang untuk sampah DKI," ujarnya. Namun demikian, dia memberikan pengecualian, bila pemerintah DKI mampu memberikan jaminan terhadap penanganan dampak sampah dan kompensasi yang sesuai bagi warga sekitar TPA, maka silahkan saja dipelajari lagi kerja sama itu. "Prinsipnya, bila menguntungkan silahkan kerja sama. Tapi bila tidak, lebih baik kita tolak." Salamat melanjutkan, selama ini tidak ada program yang jelas tentang penanganan sampah di TPA tersebut. Selain itu, pihak ketiga yaitu PT Patriot Bekasi Bangkit, (PBB) yang selama ini diminta menangani pengelolaan sampah, terkesan hanya mencari keuntungan saja. Tentang sejauh mana dampak pengakhiran kerja sama dengan DKI Jakarta terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bekasi, lagi-lagi Salamat berpendapat, kontribusi PAD dari TPA tidak sedikit pun berpengaruh terhadap PAD. Tahun lalu, katanya, TPA BantarGebang hanya menyumbang Rp 14 miliar ke PAD. "Itu pun termasuk dana kompensasi yang berjumlah hampir Rp 8 miliar, jadi nggak ada itu pengaruhnya." padahal, lanjut dia, kerugian yang diderita warga sekitar TPA justru sangat mahal dan tak bisa dinilai dengan uang. Berbeda dengan Salamat, Abdul Khoir, sekretaris Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB) Bhagasasi mengatakan, kerja sama masih diperlukan sejauh ada kejelasan dan transparansi tentang pengelolaan sampah di TPA itu. "Karena kalau mau jujur, sebenarnya Bekasi belum mampu untuk mengelola sampah itu secara swadaya," katanya. Namun demikian, Khoir melanjutkan, ke depannya perlu diatur dengan lebih baik lagi tentang siapa yang akan menangani sampah dari Jakarta dan Bekasi di Bantargebang agar lebih menguntungkan warga sekitar.(c34/c42 ) Post Date : 28 Januari 2006 |