|
Salah satu masalah yang sejak tiga tahun terakhir memusingkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah bagaimana mengatasi sampah. Masalah ini bertambah rumit jika melihat sikap warga Jakarta yang masih seenaknya membuat dan membuang sampah di mana- mana. Mulai dari jalanan, got, sampai sungai. Padahal, menurut catatan Dinas Kebersihan DKI Jakarta, dari 6.000 ton sampah yang sekarang setiap hari dihasilkan di Jakarta, sebesar 57 persen berasal dari rumah tangga, 30 persen dihasilkan pasar-pasar, dan 13 persen sisanya berasal dari industri, hotel, dan restoran. Ironisnya, jika di rumah sendiri sampah Jakarta hanya memusingkan pemerintahnya, di daerah lain hal itu sampai menimbulkan gejolak. Gejolak pertama terjadi tahun 2001 di Bekasi. Gejolak itu akibat keberadaan 108 hektar lahan di Desa Bantar Gebang, Bekasi Barat, yang selama ini digunakan untuk tempat pembuangan akhir (TPA) sebagian besar sampah dari Jakarta. Belakangan ini gejolak tersebut beralih ke Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Warga desa tersebut resah karena di dekat rumah mereka akan dibangun tempat pengolahan sampah terpadu sebagai pengganti dari Bantar Gebang. Sri Bebassari, peneliti teknologi dan manajemen persampahan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, mengatakan berbagai gejolak itu dikarenakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak pernah memiliki konsep untuk menangani sampah. "Dalam hal sampah, Jakarta kalah dengan kucing. Jika kucing membuang kotoran, dia akan menggali lubang untuk memasukkan kotorannya. Setelah selesai, lubang itu akan ditutupnya kembali dengan tanah. Sebelum pergi, kucing juga masih sempat menengok ke belakang untuk memastikan bahwa lubang tersebut sudah tertutup rapat," papar Sri. Akan halnya Pemprov DKI Jakarta, mereka hanya dapat membuang sampah di daerah orang lain. Mereka juga hanya begitu saja membuang sampah tanpa memastikan secara sungguh-sungguh dampak dari tindakan tersebut. Belum dimilikinya konsep penanganan sampah oleh Pemprov DKI Jakarta ini menjadi amat ironis karena pada tahun 1980, atas permintaan Presiden (ketika itu) Soeharto, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebenarnya pernah membuat kajian tentang pengelolaan sampah di Jakarta. Kajian ini dibuat setelah melihat keberhasilan pengelolaan sampah yang dilakukan Pemerintah Singapura. Berikut petikan wawancara dengan Sri Bebassari, peneliti berusia 55 tahun yang pada tahun 1980 memimpin tim kajian BPPT tentang pengelolaan sampah tersebut. Mengapa kota sebesar Jakarta sampai sekarang belum memiliki konsep pengelolaan sampah? Ini masalah prioritas. Ibarat rumah, selama ini Jakarta masih memprioritaskan pada ruang tamu dan teras. Belum sampai ke WC dan kamar mandi. Akibatnya, pikiran lebih banyak pada bagaimana membangun hotel berbintang dan belum tentang bagaimana cara mengelola sampah. Padahal, pengelolaan sampah sebenarnya merupakan bagian dari investasi. Sebab, jika dilakukan dengan baik, kota menjadi bersih. Jika kota bersih, investor akan datang, wisatawan akan menginap, demikian seterusnya. Sementara meski kita punya hotel mewah, investor dan wisatawan akan tetap berpikir untuk datang jika melihat sampah bertebaran di mana-mana. Jadi, ada kesalahan logika berpikir? Benar sekali. Ironisnya, kesalahan ini juga dilakukan para investor yang akan terjun ke persampahan. Mereka selalu menghitung keuntungan dari hasil pengelolaan sampah. Misalnya dalam bentuk kompos. Padahal, itu semua hanya efek samping. Bisnis sampah adalah bisnis jasa kebersihan. Jadi, ketika kita terjun dalam bisnis sampah, keuntungan harus diperoleh dari usaha kita menjaga kebersihan suatu daerah. Bukan pada berapa nilai jual dari sampah-sampah itu. Bagaimana cara membuat konsep pengelolaan sampah? Pertama-tama kita harus membuat sampah sebagai masalah prioritas yang harus ditangani. Untuk itu kita harus mulai menyusun peraturan tentang sampah. Mulai dari di mana sampah harus dibuang, letak TPA, sampai dengan hukuman bagi mereka yang melanggar. Setelah itu dibentuk lembaga khusus yang mengurusi sampah. Di Singapura, sampah dikelola 14 departemen. Jauh berbeda dengan Jakarta yang hanya diurus Dinas Kebersihan. Kita juga harus mulai menyusun anggaran yang jelas untuk mengelola sampah. Harus ada pembagian yang jelas berapa dana yang disediakan pemerintah, swasta, dan yang harus langsung ditanggung masyarakat. Setelah itu disusun program sosialisasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sampah. Sosialisasi ini tentunya tidak dapat dengan perintah dan pentungan, bahkan pistol, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Bojong. Apa target sosialisasi itu? Warga tidak hanya diminta membuang sampah di tempat sampah, tetapi juga harus diajak memproduksi sampah sesedikit mungkin dan mengolah sendiri sampah mereka. Ini penting karena tujuan jangka panjang kebijakan persampahan adalah bagaimana mengurangi keberadaan tempat pembuangan akhir dan biaya transportasi. Sebab, dalam pengelolaan sampah, dua komponen itu yang paling banyak menyedot biaya. Pengolahan sampah seperti apa yang dilakukan masyarakat? Minimal mereka dapat memilah-milah sampah. Sejak ada di rumah, masyarakat harus dapat memisahkan mana sampah yang dapat didaur ulang dan mana yang tidak. Jika hal ini dilakukan, saya perkirakan jumlah sampah di Jakarta yang harus dibawa ke TPA dapat turun hingga 50 persen. Sisanya akan didaur ulang atau dimusnahkan sendiri oleh masyarakat. Untuk memilah-milah sampah pasti dibutuhkan waktu dan tenaga. Bagaimana agar masyarakat mau melakukannya? Mereka harus diberi perangsang. Di Jepang, truk sampah yang mengangkut sampah kertas biasanya juga membawa tisu yang nantinya akan dibagikan kepada warga yang hari itu membuang sampah kertas. Bukankah itu membutuhkan waktu yang lama? Tentu. Singapura saja butuh 30 tahun untuk menegakkan hukum tentang pembuangan sampah. Mereka masih belum dapat mengubah kebiasaan semua masyarakat untuk hidup bersih. Jika program itu dilakukan di Jakarta, mungkin kita juga butuh waktu 30 tahun. Selama menunggu waktu tersebut, apa yang harus dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam waktu dekat? Dalam tiga tahun ke depan, Jakarta harus dapat membangun tempat pengolahan sampah (TPS) sendiri di wilayahnya. Dengan memiliki TPS sendiri, biaya transportasi akan semakin murah karena jarak angkut semakin dekat dan kita tidak akan terlibat konflik dengan daerah lain. Untuk itu sekarang kita harus mulai membuat desain dari TPS tersebut. Misalnya apakah TPS itu akan dibuat di setiap wilayah atau cukup satu untuk satu provinsi. Desain ini yang nantinya akan ditawarkan kepada investor. Tidak seperti tiga tahun terakhir di mana Jakarta justru menerima konsep dari investor. Bagaimana tentang lahan? Banyak tempat di Jakarta yang dapat digunakan sebagai TPS. Yang sudah ada misalnya di Kosambi atau Cilincing. Masalah tempat sebenarnya hanya masalah kemauan pemerintah saja. Teknologi apa yang seharusnya digunakan untuk TPS di Jakarta? Teknologi yang terpadu. Sebab, setiap teknologi pengolahan sampah, misalnya dengan sanitary landfill atau bala press, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi harus digabungkan. Dengan cara ini sampah yang tersisa untuk kemudian dibuang ke TPA hanya 3-10 persen. Itu program untuk tiga tahun. Lalu dalam waktu tiga tahun mulai dari sekarang, sampah Jakarta harus dibuang ke mana? Ke TPA yang sudah ada seperti Bantar Gebang. Jakarta jangan pernah meninggalkan Bantar Gebang selama belum memiliki penggantinya. Namun, pengelolaan sampah di sana sejak sekarang harus mulai diganti dengan sistem terpadu seperti yang akan dilakukan di TPST Bojong. Pergantian sistem ini sekaligus untuk membuktikan apakah TPST itu betul- betul ramah lingkungan? Jika benar, tentunya akan mempermudah pembuatan TPST di Jakarta karena masyarakat tidak perlu takut lagi dengan pencemaran akibat keberadaan TPST. Namun, jika menimbulkan pencemaran, kita masih mempunyai kesempatan untuk memperbaikinya. (M HERNOWO) Post Date : 13 Desember 2004 |