|
JAKARTA -- Kekurangan air tak hanya mengancam pelanggan air bersih dari Perusahaan Air Minum Jaya. Pengguna air bawah tanah di Jakarta pun terancam kesulitan mendapat air di musim kemarau ini. "Yang paling rawan pemakai air tanah dangkal," kata Kepala Dinas Pertambangan DKI Jakarta Peni Susanti kemarin. Air tanah dangkal merupakan air bawah tanah yang diambil dari kedalaman 0-40 meter dari permukaan tanah. Air tanah jenis inilah yang banyak dipakai kalangan rumah tangga. Sekitar 41 persen warga Jakarta masih memakai air bawah tanah jenis ini. Perkiraan Dinas Pertambangan DKI Jakarta, konsumsi air tanah dangkal dalam setahun mencapai 200 juta meter kubik. Menurut Peni, di musim kemarau ini krisis air tanah paling rawan di Jakarta bagian selatan. Sebab, fluktuasi permukaan muka air di wilayah ini bisa melebihi delapan meter. "Selisih tinggi air tanah ketika musim kemarau dan musim hujan sangat tinggi," kata Peni. Di selatan Jakarta, ada sembilan wilayah yang fluktuasi muka air tanah sangat tinggi, yaitu di sekitar daerah Matraman, Pulogadung, Kebayoran Lama, Tebet, Duren Sawit, Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jagakarsa, dan Makasar. Kepala Subdinas Bina Usaha Air Bawah Tanah Dian Wiwekowati mengatakan kesembilan wilayah itu tergolong dalam zona sangat kritis. Kedalaman muka air tanah saat musim kemarau mencapai lebih dari 16 meter. Padahal, kata Dian, di musim hujan, muka air tanah di wilayah ini berada pada kedalaman delapan meter. Artinya, untuk mendapatkan air di musim kemarau, warga sekitar harus membuat sumur yang dengan kedalaman lebih dari 16 meter. Selain beberapa wilayahnya termasuk zona sangat kritis, sebagian wilayah Jakarta bagian selatan juga dikategorikan sebagai zona kritis. Kedalaman muka air tanah saat musim kemarau mencapai 12-16 meter, sementara fluktuasi muka air tanahnya mencapai 6-8 meter. Sedangkan wilayah sekitar Kembangan, Tanah Abang, Menteng, Senen, dan Cakung dikategorikan sebagai zona sangat rawan. Kedalaman muka air tanah di musim kemarau mencapai 8-12 meter dengan fluktuasi 4-6 meter. Adapun daerah Jakarta Utara sebenarnya hanya termasuk kategori zona waspada. Sebab, kedalaman muka air tanah di wilayah ini hanya 0-4 meter, dengan fluktuasi kurang dari dua meter. "Tapi kualitas airnya buruk. Airnya kan payau, jadi tidak bisa dikonsumsi," kata Dian. Menurut Peni, kekeringan air tanah di wilayah Jakarta sebenarnya bisa dicegah dengan membuat sumur resapan. "Intinya menabung air." Jadi, kata Peni, ketika musim hujan, air tak terbuang percuma, melainkan disalurkan ke dalam sumur resapan. Sumur resapan berupa lubang yang diisi bahan-bahan penyerap air, seperti puing, batu merah, batu kali, dan ijuk. Menurut Bowo Saroso, Kepala Seksi Geologi dan Energi Dinas Pertambangan, sumur resapan ini sangat efektif untuk mencegah kekeringan. Sebab, sumur resapan bisa menyimpan air sekitar empat meter kubik jika hujan berlangsung selama dua jam. "Dalam sehari, sebuah keluarga rata-rata membutuhkan air 5-6 meter kubik," ujar Bowo. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mewajibkan pembuatan sumur ini di setiap rumah. Ketentuan serupa juga berlaku untuk izin pendirian gedung dan perkantoran. "Ketika mengurus izin mendirikan bangunan, dalam gambar (rencana bangunan) harus ada sumur resapan," kata Wakil Kepala Dinas Penataan dan Penertiban Bangunan Dinar Panjaitan. Bagi bangunan yang berdiri sebelum peraturan tentang sumur resapan terbit, kewajiban membuat sumur resapan menjadi syarat perpanjangan menggunakan bangunan. "Untuk rumah tinggal, perpanjangan itu setiap 10 tahun. Untuk perkantoran, setiap 5 tahun," kata Dinar. Indriani Dyah S Post Date : 19 Juli 2006 |