|
PETAKA tak terhindarkan ketika musim hujan kembali melanda Jakarta atau daerah hulu sungai yang hilirnya bermuara ke Teluk Jakarta. Menariknya, daerah yang terkena banjir itu-itu juga-sebut saja daerah Kampung Melayu dan Bukit Duri- yang menjadi langganan banjir. Bedanya hanyalah intensitasnya menjadi semakin sering seolah tidak lagi mengenal periode yang menjadi pedoman pengelolaan banjir selama ini. Pertanyaannya kemudian adalah apa sebenarnya yang terjadi? Apakah tidak ada upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengatasinya? Apa peran masyarakat di dalamnya dan apa tidak ada jalan keluar yang lebih baik? Membandingkan laju dan intensitas banjir dari tahun ke tahun, masalahnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu a) penanganan banjir dalam Kota Jakarta dan b) penanganan banjir di hulu sungai atau di luar kota Jakarta. Dalam Kota Jakarta, laju urbanisasi dan tingkat pembangunan yang seolah tidak terkontrol hampir secara sempurna menutup permukaan lahan yang kedap air (impervious area)- seperti jalan aspal, lantai beton, dan bangunan-di mana plester buatan di permukaan bumi ini mengurangi jumlah infiltrasi air ke dalam tanah. Tanpa adanya manajemen aliran, termasuk upaya mengurangi run-off, meningkatkan kapasitas tampung badan air penerima, atau melakukan by pass ke laut dapat dipastikan bahwa banjir tidak terhindakan. Masalah yang lebih pelik-tetapi justru kurang tersentuh selama ini- sebenarnya berada di luar wilayah administrasi Kota Jakarta, yaitu manajemen aliran di hulu dari 13 sungai-anak sungai yang membelah Kota Jakarta. Hulu sungai-sungai tersebut sebagian besar berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dan termasuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Salah satu pemikiran yang sudah lama berkembang adalah menggunakan pendekatan DAS dalam mengelola banjir, yaitu pengelolaan terpadu melalui DAS Ciliwung oleh kedua provinsi terkait. Alternatifnya antara lain melalui pembentukan badan independen- sebut saja Badan Pengelola DAS Ciliwung-yang beranggotakan semua pemerintah kota dan instansi terkait-termasuk perguruan tinggi-yang termasuk dalam DAS atau Sub-DAS Ciliwung dengan tugas antara lain: memastikan terbentuknya tata ruang dan kota berwawasan lingkungan, ditaatinya rencana tata ruang dan kota tersebut secara konsisten, perlindungan lahan dan sumber daya air melalui kaidah konservasi. Tanpa pembentukan badan atau tim khusus yang memiliki tugas antara lain seperti di atas, sulit membayangkan Pemprov DKI Jakarta dapat menangani banjir secara efektif karena masalahnya terlalu kompleks untuk ditangani sendiri. Dalam upaya membebaskan Jakarta dari banjir, setidaknya ada dua stakeholder yang paling berperan dalam kota Jakarta, yaitu Pemprov DKI Jakarta sendiri dan masyarakat (pendatang) Jakarta. Bagi Pemprov DKI Jakarta, masalah banjir tidak harus melulu diselesaikan melalui pendekatan fisik dan struktural. Menerapkan manajemen limpasan air permukaan secara terpadu merupakan pendekatan lain yang patut dikedepankan, di mana dengan pendekatan ini masalah yang diselesaikan tidak hanya yang terkait dengan banjir, tetapi juga meningkatkan kenyamanan dari sudut sosial dan lingkungan hidup. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa banjir sebenarnya merupakan dampak dari pembangunan dalam kota yang kurang memperhitungkan keselarasan ekosistem, di mana sempadan sungai disulap menjadi permukiman, daerah resapan menjadi lapangan golf, serta saluran air menjadi "tong sampah". Banyak dampak lain yang belum diperhitungkan dalam bencana banjir. Haskarlianus Pasang, Kandidat Phd, Department of Civil and Environmental Engineering, The University of Melbourne, Australia Post Date : 08 Maret 2005 |