|
JAKARTA - Sebuah pesan datang kepada Masayu S. Hanim lewat telepon selulernya, Kamis pekan lalu. Peneliti Kemasyarakatan dan Kebudayaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu diminta memaparkan hasil-hasil penelitiannya, yang bisa menjelaskan fenomena banjir bandang di Ibu Kota Jakarta pada keesokan harinya. "Waduh, di mana ya laptopku," Masayu langsung kelabakan mencari koleksi data-data penelitiannya. Gelombang banjir awal Februari lalu memaksa Masayu dan keluarganya melakukan evakuasi kilat dan massal terhadap segala properti berharga di dalam rumahnya. "Kemarin itu terlalu banyak tangan, jadi agak sulit untuk menemukannya kembali," katanya. Keterkejutan Masayu memang belum sirna betul. Ia mengatakan belum pernah sekali pun banjir menjamah hingga ke kawasan perumahan di Rempoa, Jakarta Selatan, tempatnya tinggal selama 17 tahun. Awal Februari lalu rekor itu pecah. "Itu gara-gara ada pembangunan perumahan real estate baru di dekat sana... lahan hijau semakin minim," katanya. Masayu boleh marah pada pembangunan yang salah kaprah, sehingga menyebabkan hilangnya kawasan-kawasan resapan air di Jakarta. Tapi Robert Delinom, rekannya yang ahli geohidrologi pada Pusat Penelitian Geoteknologi, LIPI-Bandung, mengungkapkan temuan yang berbeda. Menurut dia, Jakarta memang harus banjir, sehijau apa pun kondisi permukaannya. "Sejak zaman si Pitung memang sudah begitu (banjir)," katanya. Kenyataan itulah yang mendorong Robert menggandeng Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Lingkungan serta beberapa universitas untuk menelisik ke bawah permukaan tanah, meneliti fenomena banjir di Jakarta. Lewat metode isotop stabil hidrogen dan oksigen pada 59 sumur pantau--yang tersebar mulai dari Bekasi di timur sampai Tangerang di barat, Bogor di selatan hingga Sunter di utara--Robert ingin menguji dari mana sebenarnya asal air tanah Jakarta. Setahun penuh mengoleksi sampel air tanah lalu menganalisisnya di laboratorium Universitas Chiba, Jepang, akhir tahun lalu, Robert dan timnya mendapatkan temuan: Bogor sebagai kawasan hulu ternyata tidak menyumbang banyak untuk cadangan air tanah Jakarta. Profil isotop-isotop stabil dalam sampel air sumurnya sama dengan yang terdapat pada ketinggian 100-300 meter di atas permukaan laut. Itu artinya, "Jakarta memasok air tanahnya sendiri karena 300 meter itu hanya sedikit di sebelah selatan Jakarta," katanya. Lalu ke mana larinya air tanah dari Pegunungan Pangrango dan Salak? "Mereka keluar dalam rupa mata air-mata air besar dan situ-situ yang (kalau diurut) memanjang dari Cibinong sampai Parung," ucap Robert. Robert menganalisis, formasi batuan yang sangat masif ternyata membentengi aliran air di dalam tanah itu untuk bisa mencapai Jakarta. Formasi itu--Parung Belimbing di dekat Serpong dan Kelapanunggal di sekitar Cibinong--begitu dalam dan luas sehingga hanya tiga dari 59 sumur pantau yang diuji menunjukkan ada yang bisa lolos dari sana. "Itu pun hanya berkonsentrasi di sekitar Kramat Jati (Jakarta Timur)," katanya. Sisanya melimpas dan menjadi aliran permukaan yang mengarah langsung ke Jakarta sebelum sampai ke laut. Limpasan itu terekam dalam debit yang tiba-tiba saja melonjak. Ketika hujan datang tidak normal, limpasan itu menyumbang peran menciptakan daerah-daerah rawan banjir di Jakarta. "Jadi, walaupun tutupan lahan di Jakarta sudah bagus, banjir akan selalu ada." Kalau sudah begitu, Robert sepakat, yang bisa dilakukan di Jakarta hanyalah mengelola air yang menggerojok sebaik-baiknya. Endang Sukara, Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati, LIPI, mengusulkan mengembalikannya untuk mengisi air tanah dan memanfaatkannya sebagai sumber energi hingga mengubahnya jadi sumber air bersih. "Pokoknya jangan terlalu cepat disodet dan dibuang ke laut," katanya. "Ini harus dimanfaatkan."wuragil Post Date : 16 Februari 2007 |