|
Jumat sore lalu hujan cukup deras di Perumahan Bogor Baru, Bogor. Air hujan yang jatuh ke atap rumah Prof Dr Ir Naik Sinukaban MSc, salah satu rumah di sana, tidak mengalir ke selokan. Air itu menggenang setinggi rumput manila yang menutup permukaan halaman. Raut guru besar dan Ketua Departemen Konservasi Tanah dan Air Institut Pertanian Bogor itu sama sekali tak khawatir dengan kondisi tersebut. "Halaman belakang juga terendam. Air hujan dari atap rumah memang tidak kami buang ke selokan. Dalam satu jam, air itu menyerap ke tanah. Ini salah satu bentuk konservasi tanah yang bisa kita lakukan, untuk mengisi dan menjaga air tanah," tutur ilmuwan tanah dan pakar manajemen daerah aliran sungai (DAS) tersebut. Doktor ilmu tanah dan konservasi tanah lulusan University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat, itu mengungkapkan keprihatinan atas rendahnya pengetahuan (mungkin ketidakpedulian) masyarakat dan pemerintah akan pentingnya ambil bagian dalam konservasi tanah. Menurut Sinukaban, banjir di Jakarta terjadi karena penggunaan lahan di kawasan DAS Ciliwung tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah. Akibatnya, sebagian besar air hujan tidak terserap tanah, tetapi mengalir di permukaan tanah, lalu langsung masuk ke sungai. Apa pun yang dilakukan Gubernur Sutiyoso untuk mengatasi banjir di Jakarta, akan sia-sia kalau lahan di kawasan DAS Ciliwung tidak ditata sesuai konservasi tanah dan air. Suami dari Marista S Sinukaban ini berencana menerbitkan tiga buku tentang masalah tanah dan konservasi tanah. Berikut petikan wawancara dengan pria kelahiran Kabanjahe (Sumatera Utara) pada 9 November 1964 tersebut. Bagaimana Anda melihat fenomena banjir di Jakarta yang kerap disebut-sebut banjir kiriman dari Bogor? Banjir merupakan fenomena yang harus ditangani secara menyeluruh dalam suatu DAS. Definisi DAS itu adalah daerah yang dibatasi secara alami oleh topografi, di mana air yang jatuh dalam DAS itu akan mengalir melalui satu titik pembuangan tertentu. Misalnya dalam DAS Ciliwung ada topografinya sehingga di mana pun air jatuh di DAS itu pada akhirnya mengalir ke Sungai Ciliwung. Kalau kita mengukur banjir di satu kawasan DAS, kita harus melihat ke atas, ke hulunya. Sehingga kalau banjir di Jakarta, kita mengukurnya bukan hanya air di Jakarta, tetapi juga ke Gunung Gede, Bogor. Jadi betul, banjir itu air "kiriman" dari Bogor. Banjir beberapa tahun ini di Jakarta, refleksi dari apa yang manusia lakukan di kawasan DAS Ciliwung. Sebenarnya curah hujan itu hampir sama sejak zaman dulu sampai sekarang. Total hujan dalam setahun dalam DAS Ciliwung tidak banyak berbeda. Jumlahnya itu di wilayah Bogor, misalnya, berkisar 4.000 milimeter per tahun. Di wilayah lain yang masih masuk kawasan DAS Ciliwung jumlahnya di bawah 4.000. Di Cisarua atau Citeureup misalnya, antara 3.000 sampai 3.500 milimeter per tahun. Makin ke hilir, tentu makin berkurang. Jakarta akan selalu kebanjiran? Ya, persoalannya mengapa itu terjadi? Itulah pertanyaannya. Apa karena bencana alam atau salah urus. Kalau tsunami itu bencana alam. Kalau banjir di DAS Ciliwung, itu juga fenomena alam, tetapi bukan bencana alam. Melainkan karena salah urus. Salah urus berarti masalah manajemen. Nah, banjir di Jakarta salah manajemen. DAS tidak mengenal ini daerah DKI Jakarta atau Jawa Barat. DAS Ciliwung itu mulai dari Gunung Gede sampai Tanjung Priok. Hulunya di Gunung Gede, hilirnya sampai Tanjung Priok. Itu ada dalam satu DAS. Secara administrasi kewilayahan, ada dalam dua kepemerintahan, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta. Sekarang kenapa Jakarta banjir? Sebetulnya dari dulu banjir sudah ada. Itu sebabnya Belanda membuat Cengkareng Drain, mulai dari Manggarai. Di situ ada bendungan yang airnya dialirkan ke kiri untuk menjaga agar tidak banjir. Tetapi dulu tidak seperti sekarang, walaupun air dibendung tetap banjir meski curah hujannya sama. Penyebabnya tidak lain adalah pengelolaan DAS Ciliwung kini tidak lagi memenuhi kaidah-kaidah konservasi lahan. Air hujan tadi, yang totalnya 3.500-4.000 milimeter per tahun itu, sebagian besar masuk ke dalam tanah. Hanya 15 persen mengalir di permukaan tanah, lalu masuk ke sungai. Artinya, 85 persen air hujan mengisi air tanah, yang nantinya akan dikeluarkan pelan-pelan, pada musim kemarau. Jadi, sungai masih mengalir meski musim kemarau. Tahun 1950-an, Sungai Ciliwung maupun Sungai Cisadane masih banyak air walaupun pada musim kemarau. Penanganan banjir di Jakarta harus dilakukan bersama-sama, tidak hanya oleh orang Jakarta. Saya dengar Gubernur Sutiyoso bilang akan membebaskan tanah untuk pembangunan kanal timur, itu tidak akan menyelesaikan masalah banjir di Jakarta. Jadi, apa yang seharusnya dilakukan Pemprov Jakarta itu? Pemerintah DKI Jakarta dan Jawa Barat harus bersama-sama menangani masalah DAS Ciliwung. Harus bentuk tim khusus tentang penanganan DAS Ciliwung. Mengatasi banjir di hilir (Jakarta), yang pertama prinsipnya adalah meningkatkan infiltrasi (penyusupan) air di daerah hulu DAS Ciliwung, yakni daerah atas dari Jakarta. Ini artinya bukan hanya di Gunung Gede, tetapi mulai dari Cisarus, Bogor, Cibinong, dan seterusnya. Wilayah DAS Ciliwung ini sekitar 130 ribu hektar. Jadi, daerah yang menampung air hujan yang akan mengalir ke Sungai Ciliwung itu sekitar 130 ribu hektar. Penataan dan pengolahan kawasan DAS Ciliwung ini harus oleh dua pemprov tersebut. Bagaimana Anda melihat rencana membuat kanal dari Katulampa sehingga air dari bendungan itu juga akan dialirkan ke Sungai Cisadane? Ini juga tidak menyelesaikan masalah banjir di hilir, hanya pendekatan secara teknis, yang memindah-mindahkan air. Air dipindahkan ke Cisadane, tentunya nanti Tangerang yang bisa kena banjirnya. Hanya memindahkan saja, sama dengan sodetan Manggarai yang diarahkan ke barat, Cengkareng sana yang banjir. Tidak Jakarta Pusat yang kena, tapi ke sebelah barat sana yang kena. Hanya itu. Walaupun sodetan itu sudah mempunyai manfaat. Tetapi itu bukan menyelesaikan masalah banjir di Jakarta. Penyelesaiannya adalah meningkatkan infiltrasi air di kawasan DAS. Bagaimana caranya? Di daerah permukiman juga kita bisa meningkatkan infiltrasi air ke tanah. Misalnya, kita tidak membuat talang air untuk mengalirkan air hujan langsung ke selokan. Air hujan biarkan jatuh ke halaman rumah. Karena itu, pembangun properti harus diberi panduan membuat sumur resapan dan diwajibkan untuk membuatnya. Bayangkan kalau air yang jatuh ke atap seluas 500 meter persegi itu masuk ke dalam tanah. Ini akan membantu meningkatkan cadangan air tanah. Bayangkan kalau semua rumah begitu. Yang boleh langsung masuk selokan adalah air dari kamar mandi atau kamar cuci saja. Apa sudah ada data lengkap topografi DAS Ciliwung? Dari peta itu, bagaimana kerusakan di kawasan DAS ini? Sudah ada, kerusakannya memang sangat parah. Nah, kalau cuma bikin sodetan kanal timur, itu hanya untuk melindungi kawasan Jakarta Pusat. Tetapi persoalan di hulu, tidak bisa diatasi. Apa langkah konkret yang harus dikerjakan tim itu? Pelajari topografi DAS Ciliwung. Datanglah ke lembaga penelitian atau riset atau perguruan tinggi yang ahli dalam hal tersebut. Kebetulan kami sudah pelajari dan sudah tahu kelakuan Sungai Ciliwung itu. Menurut penelitian kami, terjadi banjir di Jakarta karena sudah menurunnya koefisien tanah. Infiltrasi di seluruh DAS Ciliwung sudah menurun. Itu pokok persoalannya. Jadi, penggunaan lahan di kawasan DAS Ciliwung harus ditata kembali. Harus dibuat undang- undang yang dapat memaksa semua orang melakukan konservasi lahan di DAS itu, untuk kembali meningkatkan infiltrasi air. Konservasi lahan pertanian, bagaimana caranya? Konservasi di lahan perumahan memang lebih mudah, yakni dengan konsisten membuat sumur resapan, atau membuang air hujan ke halaman. Untuk lahan pertanian agak lebih berat karena petani kita relatif tidak mempunyai cukup uang untuk itu. Pada lahan pertanian kita banyak tegalan yang sangat rendah infiltrasinya. Di situ pertanian harus kembali dibuat mengikuti kaidah konservasi tadi. Petani tidak melakukannya karena memerlukan biaya, paling tidak waktu dan tenaga. Sementara dia tidak bisa memanfaatkan langsung dari teknik-teknik konservasi itu karena tidak terjadi peningkatan produksi saat itu juga. Tetapi kalau konservasi lahan pertanian tidak dilakukan, pemerintah rugi. Petani sebetulnya rugi juga karena produksinya makin lama makin turun. Tetapi dia tidak tahu itu. Pemerintah harusnya tahu dan sadar akan potensi kerugian itu. Banyak kekeliruan itu ada di pemerintah. KALAU kota di negara lain seperti di Venesia, sungai diapit perumahan dan bahkan aliran menjadi sarana transportasi air? Venesia, Amsterdam, San Antonio, memang terdapat sungai yang diapit perumahan, tetapi sungai itu tidak banjir. Ada daerah-daerah yang dibuat dan tidak banjir. Sungai-sungai itu buatan. Airnya hanya segitu saja. Daerah yang dibuat, tidak mungkin banjir, tetapi tetap ada air di sungainya. Di sini juga bisa, misalnya di Cengkareng Drain. Itu kan dibuat bagus. Itu tidak akan banjir. Tetapi kalau sungai alami kemungkinan banjir itu besar. Kalau yang buatan air yang masuknya terbatas. Kalau sungai alami, seperti Sungai Ciliwung, airnya bisa tidak terbatas, tergantung curah hujan di hulu. Apakah lokasi perumahan di flat plain itu harus direlokasi? Memang harus direlokasi, kalau kita bilang penggusuran, itu terlalu kasar. Relokasi, harus ganti rugi. Jadi, mestinya pemerintah mengeluarkan uang untuk relokasi kawasan itu. Di sini semua pihak harus sama- sama sadar, masyarakat pun harus berpikir rasional dan proporsional. Harus sama-sama berakal sehat. Mentang-mentang harus direlokasi, jangan minta ganti rugi yang tidak wajar. Selain itu, harusnya ada kesadaran sebagai warga negara yang baik, jangan membuat susah negara kita setiap tahun karena selalu perlu uluran bantuan akibat kebanjiran. Berapa dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan program terpadu penataan dan pengelolaan DAS Ciliwung tersebut? Kalau Pemprov DKI menyediakan dana bagi program sodetan kanal timur, apa tidak lebih baik kalau dana itu dialihkan untuk penataan DAS Ciliwung? Besar dana yang dibutuhkan untuk itu saya belum tahu, karena harus ada penelitian cermat. Rencana pembuatan kanal timur itu memang tidak akan menyelesaikan masalah banjir, itu hanya mengatasi persoalan sesaat saja. Tetapi saat ini memang hanya itu yang bisa dilakukan DKI, karena tidak adanya tim terpadu penyelesaian penataan DAS Ciliwung itu. Saran saya, segera kedua pemprov itu duduk bersama membentuk tim kerja sama untuk mengelola DAS Ciliwung tersebut. Perlu diketahui pula, jika tim itu sudah terbentuk, lalu mereka bekerja keras dan serius, dalam satu tahun sudah akan kelihatan hasilnya. Misalnya saja tahun ini tim itu dibentuk, lalu kerja serius, tahun depan hasilnya akan kelihatan, akan sangat mengurangi persoalan banjir di Jakarta. Bagaimana dengan program penghijauan dengan penanaman sejuta pohon yang belum lama ini dilakukan? Saya pikir itu hanya seremonial. Saya lihat itu hanya ditanam di pinggir jalan dan pinggir kali, itu tidak ada artinya. Masalahnya bukan di situ, tetapi penataan kawasan DAS Ciliwung yang luasnya 130.000 hektar. Lahannya bukan cuma pinggir sungai atau pinggir jalan. Persoalannya di daerah pertanian, yang tingkat penyerapan air ke dalam tanah sudah sangat berkurang. Persoalannya bukan menanam pohon, tetapi penataan tanah. (RATIH P SUDARSONO/ FX PUNIMAN) Post Date : 24 Januari 2005 |