|
JAKARTA--MIOL: Krisis air baku mengancam kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) dan Banten akibat meningkatnya kebutuhan secara tajam sementara ketersediaan air permukaan semakin menurun. Masalah tersedianya air baku, menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto di Jakarta, Kamis )11/8) disebabkan tata ruang wilayah yang selalu mengalami penyesuaian, alih fungsi pemanfaatan lahan khsusunya irigasi yang berubah menjadi permukiman dan industri, disamping masalah pencemaran. Ke depan, kata Menteri, infrastruktur untuk penyediaan dan distribusi air bukan lagi hal mudah karena adanya keterbatasan lahan atau dana. Untuk itu, diperlukan peran serta pemerintah, masyarakat dan swasta, kata Djoko. Apa yang dirasakan masyarakat saat ini akan menjadi masalah serius di masa mendatang apabila tidak ada langkah strategis untuk menghadapinya, kata Menteri PU. Sementara itu Mudjiadi, Pemimpin Pelaksana Induk Kegiatan Wilayah Sungai Ciujung Ciliman, Banten menyebutkan bahwa pada awal 1990, untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan air baku di Jabodetabek, pemerintah melalui Ditjen Pengairan telah melaksanakan Sebuah Studi Komprehensif yang bernama Jabotabek Water Resources Management (JWRMS) yang menghasilkan pola induk penyediaan air baku di Jabodetabek dan Banten. Diprediksikan pada tahun 2025, kebutuhan air baku untuk rumah tangga dan industri akan meningkat drastis dari 50m3/detik pada tahun 1990 menjadi 180m3/detik. Padahal potensi ketersediaan air permukaan di wilayah Jabodetabek dan Banten sangat terbatas sekitar 165m3/detik ditambah dengan air tanah yang juga terbatas dan diperkirakan hanya 50m3/detik. Selama ini, pasokan air baku bagi Jabodetabek berasal dari air tanah dan air permukaan yang mengalir melalui beberapa sungai yakni, untuk bagian barat dipasok melalui sungai Ciujung-Ciliman dan Sungai Ciliwung-Cisadane. Untuk bagian tengah, kebutuhan air baku berasal dari sungai Ciliwung Cisadane dan bagian timur dipasok melalui sungai Citarum. (Ant/OL-06) Post Date : 11 Agustus 2005 |