|
Wayang kulit, sebagai sebuah kesenian rakyat, sudah dikenal jauh sebelum bangsa Indonesia ada, tepatnya sejak zaman Majapahit. Cerita yang diusung dalam kesenian ini mendasarkan pada cerita epos Mahabarata. Setelah kehancuran kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, dunia pakeliran ini dipergunakan para Walisongo sebagai media penyebaran agama Islam. Dengan tetap mendasarkan pada cerita besar Mahabarata, sembilan wali (pemimpin Islam) yang dimotori Sunan Kalijaga, memasukkan filosofi-filosofi Islam ke dalam substansi cerita wayang kulit. Hasilnya, kesenian rakyat ini dirasa efektif sebagai media sosialisasi berbagai bidang kehidupan manusia. Seperti pada masa Orde Baru, yang gencar menggembar-gemborkan program pembangunan. Bahkan kerap, pergelaran wayang kulit dijadikan ajang kampanye partai politik. Merupakan hal baru, bahwa isu-isu AMPL (air minum dan penyehatan lingkungan) diusung ke atas panggung wayang kulit. Hal ini tercetus pada acara Sarasehan Dalang Jawa Tengah 2007 yang digelar Komda Pepadi (Komisariat Daerah Persatuan Pedalangan Indonesia) Provinsi Jawa Tengah pada Sabtu, 27 Oktober 2007, di Semarang. Ide awal isu AMPL Awalnya, melalui Susilo Adi, S.E., M.Si, yang duduk di Pokja AMPL Provinsi Jawa Tengah yang juga menjabat sekretaris II Komda Pepadi Provinsi Jawa Tengah, berkeyakinan isu AMPL cukup menarik untuk ditawarkan sebagai materi cerita pewayangan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya AMPL belum menyeluruh. Kami meyakini, lewat dunia pewayangan ini isu AMPL sedikit banyak akan mampu tersosialisasikan, ungkap Susilo Adi. Pada kesempatan itu, salah satu konsultan WASPOLA, Bambang Pujiatmoko memberikan pemaparan seputar isu AMPL. Permasalahan AMPL ini bukan menjadi urusan pribadi, tapi perlu penyelesaian secara bersama. Dan melalui tokoh kesenian seperti dalang ini, diharapkan mampu mempengaruhi kesadaran masyarakat, tuturnya. Dihadapan puluhan pelaku jagat pakeliran, Bambang mempertanyakan, kemungkinan permasalahan keseharian masyarakat untuk dimasukkan pada cerita wayang. Seperti bagaimana masyarakat yang berebut air atau atau persoalan tingginya angka kematian bayi akibat lingkungan yang tidak sehat. Menurut Bambang, kesenian rakyat seperti wayang kulit ini merupakan kekuatan yang dapat digunakan sebagai sarana kampanye publik. Para dalang atau pelaku kesenian rakyat tentu akan lebih mengena dalam menyampaikan pesan dengan pendekatan cerita yang bermuatan kearifan lokal, ujarnya. Dalam sarasehan tersebut, sepertinya isu AMPL belum dianggap sesuatu yang menarik. Para pelaku kesenian masih perlu banyak referensi sehingga persoalan-persoalan penting kehidupan masyarakat banyak diserap untuk dimasukkan dalam cerita pewayangan. Bambang mengharapkan melalui kesenian rakyat wayang kulit, menjadi salah satu media penting bagi penyampaian informasi AMPL sehingga akan meningkatkan kesadaran dan pencerahan yang sekaligus mendorong terjadinya tindakan atau aksi dalam penyelesaian permasalahan AMPL. Kreativitas seorang dalang Pada dasarnya, semua bidang perikehidupan manusia sangat mungkin diangkat di media kesenian apapun. Karena tidak ada cerita yang lebih menarik dibanding mengangkat isu humanisme. Sudah tepat bila isu AMPL menghiasi cerita-cerita jagat pewayangan. Persoalannya, tinggal bagaimana cara pengemasan. Karena tidak semua jenis cerita pewayangan bisa menarik masyarakat penggemarnya bila tidak dikemas secara baik. Seorang pemerhati dalang, Prof. Dr. Jazuli, yang juga menjadi salah satu pembicara pada sarasehan pedalangan tersebut, mengatakan sangat mungkin cerita apapun diangkat pada pergelaran wayang kulit. Tergantung kreativitas para dalang. Bagaimana mereka tak sekedar mencari sesuap nasi, tapi ada tafsir yang terus mengalir dan disesuaikan dengan persoalan masyarakat lokal, tuturnya. Menurut Jazuli, seorang dalang tidak akan laku di masyarakat bila tak memiliki kreativitas. Kreativitas ini, katanya, didasari pada media ekspresi dan pesan-pesan moral yang ada pada cerita. Jangan sampai seniman itu berkarya hanya sebagai aspek mencari rezeki sebagai satu-satunya tujuan, ujarnya. Jazuli memaparkan banyak cara untuk menjadi dalang yang kreatif sehingga tetap digemari masyarakat dan tidak ketinggalan zaman. Disamping kerja keras yang luar biasa, seorang dalang juga sangat perlu wawasan yang luas. Caranya bermacam-macam. Bisa dengan cara berkolaborasi dengan jenis kesenian lain agar fungsi kesenian wayang tak hanya sebagai media hiburan namun mampu sebagai tuntunan yang mencerahkan masyarakat. Ini merupakan kiat dan strategi seorang dalang, kata Jazuli. Tidak berbeda jauh dengan pembicara lain, H. Bambang Murtiyoso, S.Kar, M.Hum. Menurutnya, kebanyakan dalang kurang menggarap sisi cerita lakon wayang (sanggit). Jelas ini karena ilmu dan pengetahuan tentang hidup ini yang kurang. Padahal banyak materi yang bisa diambil dari kehidupan ini, ujar dosen ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta ini. Menurut Bambang, jagat pakeliran saat ini banyak mengumbar guyonan terlebih dari sisi iringan musik dan tembangnya. Ditakutkan jagat pewayangan akan jauh sebagai wahana pencerahan batin manusia, katanya. Relevansi isu AMPL Ketua Umum Komda Pepadi Provinsi Jawa Tengah, Supadi, menegaskan bahwa sangat relevan memasukkan tema AMPL ke dalam cerita kesenian wayang kulit. Hal ini, lanjutnya, karena pada hakekatnya kesenian wayang kulit harus pada posisi netral. Artinya, cerita apapun sepanjang untuk kemaslahatan sangat mungkin ditampilkan. Supadi beranggapan, isu lingkungan akan selalu menjadi aktual karena permasalahan lingkungan seperti tak pernah henti dihadapi masyarakat. Dalang yang kreatif, misal dengan menggunakan bahasa yang nge-pop, akan mampu membawa tema ini secara menarik, tuturnya. Menurut Supadi, memasukkan isu AMPL merupakan peluang yang cukup besar. Tidak hanya bagi kepentingan masyarakat berkenaan persoalan itu, namun bagi pelaku kesenian wayang kulit sendiri sehingga menambah perbendaharaan cerita wayang. Supadi optimis, tema apapun akan dapat dibawa ke jagat pakeliran, tak terkecuali tema AMPL. Hanya mungkin perlu wacana dan wawasan para dalang berkenaan dengan isu AMPL. Bowo Leksono Post Date : 28 Oktober 2007 |