|
"ANAK ayam kelaparan di lumbung padi". Pepatah lama itu hampir dapat menggambarkan ironi krisis air bersih yang mendera warga kota Palembang, Sumatera Selatan, lebih dari 10 tahun belakangan ini. Ironis, karena krisis air terus berlangsung dan belum dapat dipastikan kapan akan teratasi. Padahal, Palembang merupakan kota tua yang dikepung puluhan anak sungai dan rawa dengan potensi air melimpah. Warga Palembang sendiri seakan telanjur "jengah" dengan krisis air bersih itu. Mereka sudah sering kali mengeluh dan mengadukan masalah itu kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Musi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kota Palembang. Namun, hingga kini belum ada langkah jitu yang dilakukan PDAM untuk mengatasi krisis air secara tuntas. Masyarakat seperti pasrah atau terpaksa membiasakan diri dengan kesulitan air setiap hari. Sudah menjadi pembicaraan umum jika air dari PDAM hanya mengalir pada jam-jam tertentu, kerap macet, kualitas air yang jelek, dan rekening tagihan bulanan acap melonjak-lonjak. Air bersih yang menjadi kebutuhan hidup selama 24 jam itu menjadi barang langka, bahkan terkesan "misterius". Para pelanggan PDAM di Palembang hanya menerima aliran air bersih pada jam-jam tertentu, sesuai jadwal yang ditetapkan. Misalnya, permukiman penduduk di Kecamatan Ilir Timur II hanya mendapat air pada pagi hari sekitar pukul 06.00 hingga pukul 08.00. Warga Kecamatan Seberang Ulu I mendapat giliran air pukul 06.00 hingga 10.00. Sementara perumahan di sekitar Jalan Ramakasih, Kecamatan Ilir Timur II, menerima aliran air pukul 18.00 sampai 02.00. Namun, jadwal pengaliran air itu sering berubah-ubah atau bisa berhenti sama sekali hingga sehari penuh. Masyarakat di Jalan Mangkubumi, Kenten, Kecamatan Sako, merasakan matinya air PDAM, Selasa (21/12) lalu. Rencananya, saluran air stop lagi hari Selasa ini. "Saya sudah telepon ke PDAM dan diberi tahu aliran air akan mati lagi 28 Desember. Menurut petugas, ada pipa saluran yang harus diperbaiki," kata Dian, pengelola rumah makan Pondok Pinang Musi di Kenten. Warga yang tinggal di Jalan Kasuari V, Perumahan Sako, lebih susah lagi. Sudah sejak sekitar lima tahun aliran PDAM ke perumahan itu mati dan tidak "hidup" lagi sampai sekarang. Akibatnya, pipa-pipa saluran yang terpasang di rumah warga menjadi sia-sia. UNTUK memastikan apakah air mengalir atau tidak, warga Jalan Cenderawasih di Sako memiliki kebiasaan unik, yaitu menyedot pipa saluran air dengan mulut. Jika terasa berat saat disedot, berarti ada harapan air akan segera mengalir. Jika terasa ringan dan berbunyi, air tidak akan muncul. "Kalau air keluar, kami langsung menampungnya di bak untuk persediaan air minum. Tapi, sering kali airnya kotor dan bau. Terpaksa kami buang lagi," kata Gunawan (23), warga di Perumahan Sako. KEMACETAN aliran air mendadak sering membuat penduduk kelabakan. Puluhan warga di Kompleks Dwikora, Kelurahan Lorok Pakjo, Kecamatan Ilir Barat I, terpaksa tidak mandi seharian, awal Desember lalu. Air sama sekali tidak mengalir ke rumah penduduk di kompleks itu selama dua hari berselang-seling, sedangkan simpanan air di bak penampung telah habis. "Air sering mampet, tetapi kami terus membayar sekitar Rp 100.000 setiap bulan. Mungkin rekeningnya dipukul rata saja, tidak dicek sesuai pengeluaran," keluh Febri (27), warga Kelurahan Lorok Pakjo. Meskipun sering bermasalah, para pelanggan PDAM Tirta Musi masih memiliki harapan akan ketersediaan air bersih. Masyarakat lain yang belum terjangkau sambungan instalasi pipa saluran air dari PDAM hingga kini terpaksa harus gigit jari. Masalahnya hingga kini PDAM Tirta Musi baru dapat melayani sekitar 95.000 keluarga atau 60 persen dari total 180.000 keluarga penduduk di kota Palembang. Mayarakat di perumahan Griya Permata Sukma di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Sako, termasuk yang belum mendapat aliran air bersih. Mereka mengaku sudah mendengar rencana pemasangan pipa PDAM sejak dua tahun lalu. Tetapi, hingga sekarang rencana itu belum terealisasi. "Kami sudah usul dan mengajukan permohonan sejak dua tahun lalu. Kalau ada sambungan baru, kami mau ikut dan membayar pemasangan dan tagihan setiap bulan," kata Markos (34), penghuni perumahan Griya Permata. Saat ini keluarga Markos harus mengandalkan sumur sendiri yang airnya keruh, sedikit berbau, dan sering kering saat musim kemarau. Air sumur itu hanya bisa digunakan untuk mandi, sedangkan untuk kebutuhan minum dan memasak diperoleh dengan membeli dari pedagang keliling yang menawarkan air dengan mobil. Satu jeriken ukuran 20 liter dijual Rp 800. Direktur PDAM Tirta Musi Syaiful mengatakan, perusahaannya telah membangun jaringan transmisi dan distribusi baru dengan total investasi Rp 33 miliar tahun 2004 ini. PDAM masih membutuhkan investasi sekitar Rp 122 miliar guna membangun jaringan lain dan boster atau sarana penguatan saluran. (ILHAM KHOIRI) Post Date : 28 Desember 2004 |