Ironi Bandung Bermartabat

Sumber:Kompas - 13 Januari 2006
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Agama mengajarkan, kebersihan merupakan bagian dari iman. Berangkat dari ajaran ini, ketika masih sebagai kota- madya, Bandung mengangkat slogan Berhiber (bersih, hijau dan berbunga). Ketika menjadi Kota Bandung, slogan tersebut dipercantik menjadi Bandung Bermartabat, yang berarti Bandung yang bersih, makmur, taat dan bersahabat.

Slogan tersebut tampaknya menjadi slogan semata. Pasalnya, sejak tiga minggu terakhir yang tampak di setiap titik Kota Bandung adalah tumpukan sampah. Pemandangan ini tidak saja menjijikkan, juga berbahaya secara medis, karena dapat mengundang berbagai penyakit. Ironis!

Sejak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jelekong ditutup 31 Desember lalu, praktis tidak ada lagi tempat pembuangan sampah bagi Kota Bandung. Akhirnya, sampah dibiarkan menggunung di setiap tempat pembuangan sementara (TPS).

Produksi sampah di Kota Bandung mencapai 7.500,58 meter kubik per hari. Sumber sampah terbesar adalah sampah domestik atau permukiman yang mencapai 4.951,98 meter kubik per hari. Disusul sampah dari pasar 618,50 meter kubik, komersial 302,80 meter kubik, industri 798 meter kubik, non-komersial 363 meter kubik, dan sampah dari saluran 12,90 meter kubik per hari.

Sampah-sampah ini menumpuk di 184 TPS di segenap penjuru Kota Bandung dan 56 bak truk yang ditempatkan di sudut-sudut jalan. Dengan produksi sampah sekian, diperkirakan telah terjadi penumpukan sampah sekitar 90.000 meter kubik.

Meskipun Pemerintah Kota Bandung telah membuka kembali TPA Cicabe, tetapi belum mampu mengangkut penumpukan sampah tersebut secara tuntas. Pada pengangkutan pertama, Senin (9/1) lalu, hanya mampu mengurangi sampah sebanyak 440 meter kubik sampah.

Menurut Hendrik, petugas pencatat sampah di TPA Cicabe, mulai hari kedua hingga seterusnya, diperkirakan hanya mampu mengangkut sampah sebanyak 70 truk atau 700 meter kubik per hari. Artinya, baru sekitar 2.500 meter kubik sampah yang terangkut hingga Kamis (12/1).

Sisa sampah masih belum tertangani dan menggunung di TPS- TPS. PD Kebersihan dan Pemerintah Kota Bandung memang tidak tinggal diam untuk mengantisipasi dampak penumpukan sampah ini. Program penyemprotan dan penutupan dilakukan untuk mengurangi bau dan lalat, ujar Wali Kota Dada Rosada dalam sebuah kesempatan.

Program ini merupakan kerja sama antara Dinas Kesehatan Kota Bandung dan PD Kebersihan Kota Bandung. Sayangnya, kata Sarko (46), pengangkut sampah, penyemprotan itu tidak dilakukan setiap hari.

Namun, menurut Kepala Subdinas Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Bandung, Rita Verita, penyemprotan hanya merupakan tindakan darurat, tetapi bukan solusi terbaik. Penyemprotan hanya bisa menjangkau bagian permukaan sampah. Belatung dan telur lalat yang berada di antara tumpukan sampah tetap aman.

Bila dalam kondisi tidak hujan, efek pengasapan hanya bisa tahan sekitar tiga hari saja. Pasalnya, telur lalat bisa menetas dalam tiga hari. Selain itu, bisa juga datang lalat-lalat dari daerah lain.

Sementara itu, Dada mengatakan, kalau ada warga yang terserang penyakit, Pemerintah Kota Bandung siap menanggung biaya pengobatannya.

Dampak penumpukan sampah ini tetap saja muncul dan mulai meresahkan masyarakat. Di TPS Jalan Ambon, misalnya, belatung berserakan hingga ke jalan raya dan warung-warung yang ada di sekelilingnya. Bahkan, tumpukan sampah ini telah menutup dua pertiga ruas jalan.

Sementara di TPS Jalan Tamansari, bau dan ribuan lalat mengganggu kenyamanan pengguna jalan. Keadaan serupa juga terjadi di Jalan Sudirman, Rajawali Timur, Taman Cibeunying Utara, dan Arjuna.

Kalau pagi, baunya amat menyengat. Tikus ama lalat juga banyak, ujar Awan Karmawan (40), penjual gorengan di Jalan Ambon, Kamis kemarin. Tikus dan belatung juga banyak. Sampai-sampai para pembeli banyak yang enggak jadi beli, timpal Ahmad (42), penjual mi goreng.

Kami terpaksa menutup jendela dan menyalakan kipas angin tiap saat karena enggak tahan bau dan lalat. Takut kena penyakit, tutur Dani Susanto (27), Kasir Leuwigajah Paket yang berkantor tepat di depan TPS Jalan Ambon.

Sumber penyakit

Rita menambahkan, tumpukan sampah berpotensi menimbulkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan lingkungan. Misalnya saja diare, tifus, dan infeksi saluran pernapasan, ujar Rita.

Diare dan tifus terutama disebabkan oleh lalat yang semula hinggap di atas sampah. Namun, tidak berhenti di sampah, lalat itu terbang dan hinggap di makanan yang dikonsumsi manusia. Hal itu sangat mungkin mengingat lalat mempunyai jarak terbang tertentu.

Sementara itu, pakar sampah dari Institut Teknologi Bandung, Enri Damanhuri, mengatakan, sampah juga menyebabkan penyakit kronis, atau baru muncul setelah jangka waktu tertentu. Penyakit ini, kata Enri, disebabkan oleh logam-logam berat yang biasanya terkandung dalam air lindi. Enri juga tercatat sebagai Koordinator Kelompok Keahlian Pengelola Sampah Bahan Beracun Berbahaya.

Terlebih Indonesia termasuk daerah yang curah hujannya tinggi. Air hujan membilas semua yang ada di sampah, termasuk kalau ada kandungan logam berat, ujar Enri. Ini terjadi karena pembuangan sampah yang belum dipisah-pisahkan berdasarkan jenisnya.

Semestinya sampah di TPS tidak ditumpuk berhari-hari. Dengan kondisi seperti sekarang ini, dikhawatirkan air bilasan sampah meresap ke sumur-sumur penduduk. Masalahnya kita baru mengeluh kalau air menjadi berwarna dan berbau. Padahal, adanya logam berat mungkin tidak mengubah kenampakan fisik air. Hanya saja, kalau diperiksa di laboratorium, airnya sudah tidak sehat lagi, kata Enri.

Bandung sebagai kota jasa tampaknya harus segera berbenah diri, terutama soal sampah. Kalau tidak, citra Kota Bandung akan terpuruk, karena para wisatawan enggan berkunjung akibat banyaknya sampah. Dengan demikian, penghasilan asli daerah dari pajak wisatawan juga menurun. Belum lagi masalah kesehatan akibat penumpukan sampah ini.

Mengherankan adalah bagaimana kebijakan Pemerintah Kota Bandung mendalami masalah ini setelah bertahun-tahun Kota Kembang ini berdiri.

Sebagai pembanding yang nyata, di mana Ibu Kota DKI Jakarta mengelola persampahan hendaknya dapat dijadikan pegangan. Walau masih bermasalah juga, ada baiknya Bandung berkaca ke Jakarta. (d07/d06)

Post Date : 13 Januari 2006