Seorang perempuan setengah baya keluar rumah membawa seember sampah. Tangan kirinya memegang hidung menahan bau. Begitu sampai di bibir Sungai Cikapundung, warga Kelurahan Braga, Kecamatan Sumurbandung, itu lantas menumpahkan sampah ke sungai terbesar di Kota Bandung itu. Brung!
Iyah (56), begitu nama perempuan tersebut, tidak mengetahui bahwa kebiasaannya membuang sampah ke sungai dapat mengundang bencana. "Kalau sudah dibuang ke sungai kan nanti hanyut bersama air dan hilang. Mana mungkin bisa menyebabkan banjir," kata Iyah saat ditanya Kompas.
Iyah hanyalah satu dari ribuan orang yang menilai bahwa membuang sampah di sungai itu wajar dan tidak mengundang permasalahan. Padahal, sampah yang menumpuk di sungai bisa menyumbat aliran sungai atau menyebabkan pendangkalan sehingga saat hujan turun air meluap ke rumah warga. Akibatnya, banjir melanda.
Tentu Iyah masih ingat peristiwa pada akhir Maret 2009. Tanggul Sungai Cikapundung jebol dan sedikitnya 600 rumah di empat RT di Kelurahan Braga tergenang banjir. Ketinggian air saat itu mencapai 1,2 meter.
Banjir yang berlangsung dua hari itu tidak hilang begitu saja, tetapi menyisakan lumpur dan trauma bagi warga. Banyak penghuni di Braga yang waswas saat melihat petir atau mendung. Mereka takut hujan segera turun.
Sebagian warga menuding bahwa banjir datang karena kawasan Bandung utara makin gundul. Daerah yang dulu berupa hutan kini berubah menjadi bangunan. "Kalau hutan tidak gundul, banjir tidak akan datang," ujar Tatang, Ketua RW 08 Kelurahan Braga, kala itu.
Wali Kota Bandung Dada Rosada berdalih, banjir yang datang tidak bisa langsung diklaim sebagai akibat gundulnya hutan. Diperlukan kajian mendalam untuk membuktikan hal itu. Air bersih
Hari berlalu dan musim berganti dari musim hujan ke musim kemarau. Warga Kelurahan Braga tidak lagi khawatir tergenang banjir. Namun, kini mereka dihadapkan pada kesulitan hidup lain, yaitu kelangkaan air bersih.
"Sekarang susah cari air bersih. Untuk mandi saja sulit, apalagi untuk minum. Paling aman ya beli air botolan," kata Kudsi (57), warga RW 08.
Ita (38), penjual bakso di RW 08, mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih. Pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung tidak lagi selancar dua bulan lalu. Sumur-sumur mengering sejak empat tahun lalu ketika gedung-gedung megah tumbuh subur di Braga.
"Jam empat sore sudah tidak ada air lagi. Dulu kami masih dikasih air bersih dari pemilik gedung megah itu, sekarang tidak lagi," ujar Ita sembari menunjuk sebuah gedung tinggi nan megah di Jalan Braga. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Ita membeli dari tukang air. Kadang dia membeli air mineral dalam galon.
Inilah ironi di Braga. Saat kemarau mereka kesulitan air bersih. Saat musim hujan mereka kebanjiran. Ini seolah menjadi siklus yang tiada terputus. (Mohammad Hilmi Faiq)
Post Date : 15 Juni 2009
|