|
JAKARTA -- Institut Pertanian Bogor (IPB) berencana memediasi dan mencarikan jalan keluar atas penolakan warga terhadap uji coba pengoperasian Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Bojong. ''Pengelolaan sampah bukan sekedar melalui teknologi,'' ungkap Kepala Lembaga Pemberdayaan dan Pengabdian kepada Masyarkat (LPPM), Prof Rizal Syarief di IPB. Pihaknya akan memberikan resolusi dan kontribusi terhadap permasalahan TPST Bojong, dengan cara pendekatan aspek sosial, ekonomi serta teknologi pengelolaannya. Sementara itu, pakar Lingkungan Hidup IPB, Soeryo Adi Wibowo, menjelaskan, konflik kekerasan yang terjadi pada kasus Bojong, karena pengelolaan sampah masih bertumpu pada paradigma lama. ''Sampah hanya mengalami proses pemindahan dan pengangkutan dari satu tempat ke tempat yang lain,'' ungkap Soeryo. Sehingga, kata Soeryo, tidak ada pemilahan dari sumber penghasil sampah secara sungguh-sungguh dan konsisten dari waktu ke waktu. Tidak ada pula industri kecil dan menengah yang berkembang untuk menfasilitasi pengelolaan sampah, seperti pemanfaatan ulang (reuse), daur ulang (recycle), dan pemulihan (recovery). Paradigma lama lainnya, pengelolaan sampah sekarang ini hanya mengandalkan unsur teknologi, yakni incenerator dan landfill. Selain itu, solusi jangka pendek, berganti-ganti, dan bersifat sangat sementara. Padahal masalah sampah kota hanya dapat diatasi bila melibatkan seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali sumber penghasil sampah, secara terus-menerus dan konsisten. ''Teknologi tidak dapat menyelesaikan secara tuntas semua masalah sampah,'' tandas Soeryo. Paradigma lama harus segera ditinggalkan dan secepatnya beralih kepada paradigma baru, yakni membangun kebijaksanaan dan praktek-praktek pengolahan sampah yang mencerminkan pengolahan sampah berbasis komunitas. ''Sistem pengolahan sampah harus dapat melibatkan seluruh partisipasi masyarakat, pengusaha swasta, pemulung,'' ungkap Soeryo. Pelibatan seluruh komponen masyarakat tersebut, sejak pemilahan, sortasi, pengangkutan, pengolahan sampah, hingga penimbunan akhir. Sistem pengolahan sampah ini harus dilakukan dengan konsisten dari waktu ke waktu. Menurut Rizal, negara lainpun pernah mengalami persoalan dilematis seperti di Indonesia. Pada dasarnya antara masyarakat dengan pengelola TPST Bojong memiliki keinginan yang sama yaitu tercapainya hidup sehat. Selain itu, kedua belah pihak sama-sama sudah memiliki wawasan lingkungan, namun kadang kala setelah di lapangan semua bisa berbenturan. Kepala LPPM mengambil contoh, Singapura memerlukan waktu 12 tahun dalam mendidik warganya supaya tidak membuang sampah sembarangan. Jika terjadi pelanggaran, warga akan didenda 1.000 dolar Singapura. Laporan : c06 Post Date : 30 November 2004 |