|
Jakarta -- Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Rahmat Karnadi mengakui investasi air minum lamban. Dari lima perjanjian Kerja Sama Pemerintah-Swasta (KPS) yang direncanakan, pemerintah baru bisa menyelesaikan dua proyek, yaitu air minum Tangerang dan Dumai. Menurut Rahmat, itu disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara daerah pemilik air dan yang membutuhkan air. "Berbeda dengan jalan tol (yang dibangun) untuk kepentingan sosial dan bermasalah di tanah," kata Rahmat di kantornya, Jakarta, Senin lalu. Untuk mempercepat investasi air minum, ia menjelaskan, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan. Dalam salah satu pasalnya, diperbolehkan kepemilikan asing hingga 95 persen dalam perusahaan air minum. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha untuk Pengadaan Infrastruktur juga mengatur hal yang sama. "Asing tak diperbolehkan (kepemilikan) 100 persen," ujar Rahmat. Namun, kepemilikan asing dibatasi oleh konsesi yang disepakati pemerintah dan investor. "Suatu saat harus kembali ke pemerintah." Menurut Rahmat, hambatan yang muncul antara lain pemerintah daerah enggan mengikuti pola KPS karena takut disalahkan bila terjadi sesuatu di kemudian hari. Tapi proyek air minum di Tangerang dapat dijadikan contoh. Ia menceritakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tangerang telah menyetujui jadwal tender proyek. Hari ini dilakukan penjelasan atau aanwijzing proyek, setelah itu tender. Empat perusahaan yang mengikuti proses, yakni Acuatico, Asian Engineering, Pacibaja, dan Dextam. "Setelah Tangerang jadi, daerah lain bisa mengikuti." Untuk proyek di Dumai, Riau, Pemerintah Daerah Rokan Hilir, Dumai, dan Kota Duri tengah membahas perjanjian KPS. Nantinya ada kontrak di antara mereka. Rieka Rahadiana Post Date : 11 Juli 2007 |