|
JAKARTA (Media): Jakarta sebagai kota megapolitan memiliki permasalahan penyediaan air bersih. Ketersediaan air sebagai kebutuhan utama manusia yang bersifat nonsubstitusional perlu ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya. Demikian terungkap dalam seminar sehari "Pelayanan Air Minum di DKI Jakarta sebagai Kota Megapolitan pada Usia 477 Tahun". Seminar sehari yang diselenggarakan Asosiasi Kontraktor Air Indonesia tersebut berupaya untuk mengkaji keberadaan mitra swasta PDAM Jaya dalam peningkatan pelayanan penyediaan air di Jakarta. Permasalahan penyediaan air dimulai dari keterbatasan dana investasi yang berujung pada kerja sama antara PDAM Jaya dengan mitra swasta yang bertindak sebagai operator sejak 1998. Dalam kerja sama tersebut ditetapkan tiga sasaran utama yang menjadi kewajiban mitra swasta, yaitu pendanaan untuk investasi, pencapaian target teknis, serta pencapaian target standar pelayanan. Poltak H Situmorang dalam makalahnya menyatakan Thames Pam Jaya (TPJ) dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) yang menjadi mitra PDAM belum memenuhi target investasi sebesar Rp2,7 triliun sebagaimana perjanjian kerja sama. "Mereka baru merealisasikan investasi sebesar Rp1,1 triliun," paparnya. Kegagalan mitra swasta dalam investasi ini, menurut Poltak, mengakibatkan seluruh target yang telah disepakati dalam perjanjian tidak tercapai. Sejak posisi operator diambil alih mitra swasta, jumlah pengaduan pelanggan sekitar 9.000 per bulan, dengan keluhan terbesar menyangkut air mati dan aliran air kecil sebesar 40,9%. Selain itu, terdapat 14% dari total pelanggan yang sama sekali tidak mendapatkan suplai air (konsumsi 0). Sebagian besar wilayah pelayanan masih bermasalah dengan suplai air, baik dari segi jumlah air yang tidak mencukupi ataupun masalah kontinuitas dalam setiap bulannya. Bahkan, menurut Poltak, masih ada pelanggan yang tidak mendapatkan air sepanjang tahun. Selama mitra swasta berperan sebagai operator dalam enam tahun, jumlah pelanggan hanya bertambah sebesar 188.788 dari yang seharusnya 218.000 pelanggan. Dan, menurutnya, kenyataan di lapangan menunjukkan penambahan pelanggan sering kali menyebabkan masalah bagi pelanggan yang telah ada. "Mereka sering tidak mendapatkan air seperti sediakala." Selain itu, Poltak juga menyoroti masalah realisasi penurunan kebocoran. Penurunan kebocoran yang dicapai mitra swasta hanya 1,64% per tahun dari target yang seharusnya sebesar 3,64%. Angka 1,64% juga masih dalam perdebatan. "Angka 1,64% bukanlah hasil penanggulangan kebocoran, melainkan penurunan produksi sebesar 38,8% per tahun," tegasnya. Perhitungan yang digunakan mitra swasta, lanjutnya, tidak berdasarkan fakta yang ada, namun dengan menghitung selisih dari data produksi air dan konsumsi air terpakai. Sehubungan dengan ketersediaan air baku untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, Direktur Teknik Perum Jasa Tirta II Sri Hernowo mengungkapkan perlunya dilakukan tindakan sebelum terjadi defisit air yang diperkirakan pada 2025. Menurutnya, pada 2025 diperkirakan ketersediaan air tinggal sebesar 7,75 miliar meter kubik, sementara kebutuhan air mencapai 8,609 miliar meter kubik. "Perlu dilakukan tindakan nyata secepat mungkin, seperti efisiensi penggunaan air dan alternatif pemanfaatan sumber air baru yang tidak lagi menggantungkan pada pasokan Citarum," tambahnya. (*/J-1) Post Date : 01 September 2004 |