|
Tahun ini merupakan tahun ketiga Festival Mata Air diselenggarakan di Salatiga, kota kecil di Jawa Tengah. Kapan saja, kegiatan seperti ini tetap terasa relevan kalau mengingat bahwa bumi kita ini memang makin aus. Festival Mata Air 2008, begitu festival itu disebut, digelar di Salatiga, 24-26 Oktober lalu. Hari pertama festival diisi dengan parade di jalan-jalan kota yang diikuti ratusan orang dari kelompok seni, pelajar, masyarakat, dan para seniman. Mereka memamerkan kostum dari sampah yang aneh-aneh sambil mengusung poster-poster kampanye lingkungan. Setelah itu, semua kegiatan yang digalang Komunitas Tanam Untuk Kehidupan (TUK) itu dipusatkan di Dusun Kalimangkak, Kelurahan Sidorejo Lor, Kecamatan Sidorejo. Festival mengambil lokasi yang unik: areal persawahan kosong di pinggir sungai, tak jauh dari tempat pembuangan sampah. Di situ terdapat mata air atau belik di bawah tanah yang tertutup jalan raya. Selama acara berlangsung, areal yang menyempil di tengah permukiman penduduk itu jadi ajang pentas seni yang hiruk-pikuk. Para seniman memanfaatkan tembok-tembok kosong untuk membuat mural dengan gambar-gambar pemandangan alam, sosok penebang liar yang dilukis seram, atau sekadar kata-kata penyemangat. Di pinggiran sawah didirikan gerai-gerai untuk menjual produk kerajinan sampah daur ulang. Beberapa seniman asing maupun lokal menyuguhkan instalasi dari material sampah yang ditancapkan begitu saja di pematang sawah atau menyempil di antara bangunan padat di pinggir sungai. Salah satunya, instalasi berjudul ”Kincir Angin Serangga” karya Kath Ellis (40), seniman perempuan asal Australia. Serangga yang dilengkapi dengan enam kitiran itu dibuat dari bambu, bungkus mi instan, dan tali. Saat ditiup angin, serangga itu bergerak-gerak lucu. ”Ini eksperimen untuk menunjukkan energi alternatif,” kata Ellis. Untuk mempersiapkan semua itu, dia rela tinggal di Kalimangkak sejak sebulan lalu. Pusat dari kegiatan berlangsung di atas panggung terbuka di tengah lahan kosong. Di situlah puluhan band lokal dan asing menghibur warga sambil menyelipkan pesan lingkungan. Sebutlah, antara lain, Sawung Jabo and Band, Kuno Kini dari Jakarta, Wayang Kampung Sebelah, serta sejumlah band lain dan kelompok seni pemuda setempat. Sambil bergoyang mengikuti entakan musik dan lagu, ribuan penonton diajak masuk dalam kampanye yang halus. Seniman Sawung Jabo, yang sudah berkali-kali tampil pada festival ini, misalnya, mengingatkan, kampanye lingkungan bisa seperti virus pilek yang menular ke mana-mana. ”Semoga festival ini bisa memberi inspirasi untuk menyelamatkan alam!” serunya lantang. Inspirasi Bagaimana festival ini memberi inspirasi? Pasangan suami istri yang memimpin TUK, Rudy Ardianto dan Vanessa Hyde, mengungkapkan, inspirasi dibangun dengan menumbuhkan minat masyarakat untuk ambil bagian dalam berbagai acara. Kemasan dalam bentuk seni instalasi, musik, tari, mural, atau seni tradisi dianggap lebih atraktif untuk menarik perhatian banyak orang ketimbang kampanye lingkungan yang normatif. ”Setelah terkesan dengan pentas seni, pelan-pelan mereka berpikir, apa yang tadi disampaikan soal lingkungan? Dari sinilah kami masuk,” kata Rudy, seniman muda yang asli Salatiga itu. TUK juga mencoba memberdayakan warga. Sebelum festival, warga bersama aktivis lingkungan, TNI, dan pegawai negeri sipil di sekitar Sinoman Tempel, Kecamatan Sidorejo, diajak bersih-bersih lingkungan. Mereka memunguti sampah. Sampah organik ditimbun dalam tanah; sampah nonorganik dikumpulkan ke tempat pembuangan akhir sampah. Warga juga diajak berdiskusi untuk menyukseskan festival dan ditawari beberapa pelatihan, seperti mengolah barang bekas. Sayangnya, kegiatan ini belum terlaksana secara maksimal. ”Padahal, kami paling tertarik dengan pelatihan membuat kerajinan dari barang bekas yang dijanjikan mulai sebelum festival. Ada nilai ekonomi yang bisa membantu warga,” kata Romdani (44), Ketua RT 3 RW 4 Sinoman Tempel. Meski begitu, sebagian warga mengaku memperoleh keuntungan lain dari berjualan makanan atau minuman di area festival. Tak sedikit pula yang merasa terhibur dengan penampilan pentas seni. ”Saya hanya perlu duduk di teras rumah untuk menyaksikan acara ini dari kejauhan,” papar Soetomo (73), warga yang tinggal hanya beberapa puluh meter dari festival. Keterlibatan warga memang masih perlu diperjuangkan. Namun, menurut Vanessa Hyde, festival ketiga ini sudah cukup lumayan. ”Ada 500-an orang dari 17 kelompok yang ikut parade, 30-an band tampil di panggung, dan ada 50-an seniman yang terlibat. Penonton selama tiga festival bisa mencapai ribuan orang,” katanya. Yang menarik, festival juga dimeriahkan 20-an seniman dari Australia yang bersusah payah datang ke situ. Salah satunya, Marty Jay (42), yang membuat instalasi bunga dari balon plastik yang dipasang di atas panggung. ”Saya sampai jual mobil untuk menambah biaya terbang ke sini,” katanya bersemangat. Cukupkah? Cukupkah pencapaian itu untuk membenahi lingkungan yang masih bisa diselamatkan? Tentu belum. Festival tahunan yang dilaksanakan sejak tahun 2006 itu hanyalah salah satu cara untuk mengemas kampanye lingkungan secara lebih menarik. Jika kampanye selama ini meluncur dari atas ke bawah, Festival Mata Air di Salatiga mencoba menggalang kekuatan arus bawah. Menurut pengamat lingkungan dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jubhar Mangimbulude, pelestarian lingkungan itu tanggung jawab bersama yang perlu pendekatan dari berbagai arah. ”Festival ini hendak membangun semangat komunal. Harapannya, kegiatan ini memberi efek getaran pada pusat-pusat kekuasaan,” katanya. Ternyata, getaran itu mulai terasa. Setidaknya, itu ditandai dengan kehadiran Wali Kota Salatiga John Manoppo dan unsur pimpinan daerah, seperti Komandan Korem Makutarama Kolonel (Inf) Moko Poerwono, pada malam pembukaan festival. Keduanya tampak antusias dan bertahan menyimak kampanye lingkungan oleh Wayang Kampung Sebelah hingga sekitar pukul 23.00 malam. Ilham Khoiri & Antony Lee Post Date : 02 November 2008 |