Inovasi TPA Yang Lebih Manusiawi

Sumber:Media Indonesia - 28 April 2010
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Sampah bagaikan musuh bersama. Namun, di tangan BPPT ia amat berguna dan disayangkan jika dibiarkan menumpuk. Mengiringi melesatnya populasi penduduk dunia, volume sampah menjadi persoalan yang cukup pelik. Tak mengherankan jika di setiap wilayah jumlah sampah kian menggunung dan tak jarang menebarkan aroma tak sedap.

Di sinilah letak persoalannya. Sejauh ini jumlah tempat pembuangan akhir (TPA) yang ada rasanya sudah tak kuat lagi menampung jutaan ton sampah di setiap kota. Selain masalah kesehatan, bencana yang disebabkan sampah tentu selalu mengintai.

Masih ingat, terbaru, longsor sampah di TPA Galuga, Cibungbulang, Bogor, menewaskan empat remaja, Selasa (16/3) lalu. Bencana serupa yang menewaskan lebih dari 50 orang juga per nah menimpa masyarakat di sekitar TPA Leuwigajah, Bandung, lima tahun silam. Entah be rapa lagi korban yang ‘diminta’ aki bat sampah.

Soal sampah, pemerintah sebenar nya tak kalah sigap meski se batas tataran konsep. Sebuah ke bijakan tentang pengelolaan sampah yang terangkum dalam UU No 18 Tahun 2008 menyebut satu tahun setelah UU disahkan, tidak ada lagi TPA yang boleh menggunakan sistem pengolahan terbuka.

Untuk menerapkan aturan tersebut ternyata tidaklah mudah. Sebab, penanganan sampah de ngan sistem terbuka (open dumping) telah lama menjadi pilihan hampir seluruh TPA di In donesia. Alasannya, paling sederhana dan mudah, walau kontribusinya akan kerusakan ekosistem lingkungan cukup besar dan juga berbahaya bagi keselamatan penduduk sekitar saat musim hujan tiba. sam ping dan dasar RSL dilengkapi 13 lapisan kedap air yang disebut geoliner.

Fungsi lapisan ini adalah untuk mencegah air lindi mencemari area sekitarnya. Air lindi, atau air yang dihasilkan oleh sampah yang tertimbun, biasanya menjadi sumber utama bau tak sedap dan merusak lingkungan di sekitar TPA.

Namun, RSL berusaha memanfaatkan air tersebut. “Salah satu sisi RSL kita gali dengan kemiringan tertentu agar air lindi mengalir ke satu tempat saja,” ucap pria berkacamata itu.

Pada sisi penampung air lindi terdapat pipa untuk menyedot limbah cair ke sebuah wadah, IPAL (instalasi pengolahan air lindi). Di IPAL, air lindi dibagi jadi dua. “Sebagian untuk diolah men jadi pupuk cair melalui proses aerob dan anaerob. Sisanya, ki ta gunakan untuk menyemprot sampah di dalam RSL,” kata Nugro, lalu tersenyum.

Air lindi disemprotkan ke timbunan sampah dalam RSL untuk menjaga tingkat kebasahan sampah tetap pada angka 40%. Karena di angka tersebut gas metana yang dihasilkan bisa maksimal. Penimbunan sampah di RSL pun diatur sedemikian rupa.

Lapisan terbawah RSL setelah geoliner adalah hamparan kompos setinggi 30 sentimeter. “Setelah itu, baru sampah dima sukkan hingga ketinggian 2 meter. Baru kita pasang pipa un tuk menangkap gas metana yang dihasilkan oleh sampah,” tutur Nugro.

Timbunan sampah setinggi 2 meter itu lalu ditutup lagi oleh kompos setinggi 30 sentimeter. Proses ini terus diulang hingga mencapai lima lapisan sampah.



Post Date : 28 April 2010