|
Matahari di atas wilayah Bandung selatan terasa terik walau musim kemarau belum mencapai puncaknya. Di daerah ini rasanya tidak lagi berada di dataran tinggi Bandung. Cuaca pada siang itu hampir tidak berbeda dengan daerah-daerah sekitar pantai. Padahal, di selatan tampak Gunung Malabar dan gunung lain yang menjulang tinggi. Jika pandangan dialihkan ke utara, tampak Gunung Tangkubanparahu, yang menjadi ciri utama dataran tinggi Bandung, membujur arah barat-timur. Di kiri-kanannya berdiri Gunung Burangrang, Bukittunggul, dan gunung api lain yang sudah tidak aktif. Nun jauh di sebelah timur berdiri jajaran Gunung Kamojang, Guntur, dan Papandayan yang berada di daerah Garut. Daerah yang terletak sepanjang aliran Sungai Citarum dari Jembatan Kopo Sayati sampai Jembatan Dayeuhkolot itu sebenarnya berada pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Dengan kehadiran gunung-gunung tersebut, semestinya daerah sepanjang aliran Sungai Citarum tersebut tidak gersang. Namun, kekeringan sudah mulai melanda areal sawah yang terletak di sisi kiri Sungai Citarum. Sungai Citarum yang mengalir di sekitar daerah itu tak ubahnya sebuah selokan kecil yang lebarnya hanya sekitar 2 meter. Airnya yang berwarna hitam mengalir lamban menyebarkan bau tak sedap ke mana-mana. Entah apa julukan yang paling tepat untuk kondisi perairan seperti itu. ”Sungai Citarum sudah jadi comberan,” jawab seorang petani di daerah itu seenaknya. Tanpa memedulikan kondisinya, ia bersama petani-petani lainnya memompa air Sungai Citarum yang sudah menjadi air comberan ke kebun sayurnya. ”Sebulan lagi, sayuran caisim ini akan siap dipanen. Kalau tidak disiram, tanaman akan mati kekeringan,” jawab petani lain. Petani lain lebih nekat lagi. Ia tidak hanya menyirami tanaman sayurannya dengan air Sungai Citarum yang sudah tercemar berbagai bahan beracun. Karena tidak memiliki lahan untuk bertani, ia menanami badan sungai yang sudah berubah menjadi daratan karena debit air Sungai Citarum menurun tajam akibat kemarau. ”Ini mah untung-untungan, Pak,” jawabnya singkat ketika ditanya apakah tidak takut jika sekali waktu permukaan air Citarum meningkat akibat curah hujan di daerah hulu. ”Kalau enggak begini, enggak makan. Habis mau hidup dari apa lagi. Bekerja di pabrik sudah tidak diterima karena umurnya sudah tua,” tambahnya. Jarak antara Jembatan Citarum di Kopo Sayati yang terletak di daerah hilir dan Jembatan Dayeuhkolot yang terletak di daerah hulu sekitar 10 kilometer. Di sisi utara sungai didominasi lahan pertanian, lapang golf, dan pabrik. Sementara di sisi selatan lebih banyak dijadikan perkampungan penduduk, sawah, dan kebun sayuran. Di sisinya membentang jalan selebar 2-3 meter yang letaknya hampir sejajar dengan alur Sungai Citarum. Keadaannya tidak dapat dikatakan mulus. Bahkan, di beberapa tempat aspalnya sudah banyak yang mengelupas. Semakin jauh menyusuri jalan itu, debu-debu halus yang tertiup angin beterbangan. Apalagi, saat kendaraan bermotor lewat. Dari air buangan Padi dan sayuran yang dihasilkan penduduk yang tinggal di sepanjang daerah aliran Sungai Citarum dari Jembatan Kopo Sayati sampai Jembatan Dayeuhkolot tidak hanya dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kedua jenis komoditas itu juga diperdagangkan di pasar-pasar, terutama pasar tradisional. Sementara komoditas lain, seperti kangkung, ditanam di areal sawah yang termasuk wilayah Kota Bandung. Sumber airnya dari air buangan sisa kegiatan rumah tangga dan industri. Biolog Institut Teknologi Bandung, Prof Dr Unus Suriawinata (Almarhum), tahun 1986 sudah mengingatkan akibat pengaruh air buangan terhadap tanaman, terutama air buangan industri yang mengandung unsur kimia. Di daerah Bandung selatan, air Sungai Citarum mendapat suplai dari air buangan industri, terutama industri tekstil yang banyak menggunakan warna celup. Karena itu, warna air buangannya tergantung zat pewarna yang digunakan. Sekali waktu menjadi warna biru, tetapi lain kesempatan berubah menjadi hijau, merah, hitam, kuning, atau warna lainnya. Air buangan tersebut selanjutnya memasuki perairan Sungai Citarum, terutama dari daerah Majalaya sampai Cimahi, yang selama ini merupakan konsentrasi industri, sebagian besar industri tekstil. Air buangan industri yang mengandung zat kimia tersebut tidak semuanya dialirkan ke daerah hilir, sebagian mengendap dalam lumpur yang terdapat di daerah yang dialiri. Proses ini sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada usaha sungguh-sungguh untuk mengurangi tingkat pencemarannya sehingga sepanjang sungai telah terjadi penimbunan. Karena air sungai digunakan untuk budidaya sayuran dan tanaman lain, senyawa-senyawa zat kimia tersebut akan diserap oleh akar dan daun tanaman. Pada gilirannya, sayuran dan tanaman ekonomi tersebut memengaruhi tingkat kesehatan seseorang yang mengonsumsinya. Bahkan, dalam jangka panjang bisa berbahaya karena zat celup tersebut pada umumnya bersifat stabil dan bahkan sulit diuraikan oleh proses biologis. HER SUGANDA Wartawan Tinggal di Bandung Post Date : 24 Juli 2012 |