Eni (43), warga Kampung Duku, Jakarta Selatan, masih berstatus sebagai pelanggan air perusahaan daerah air minum. Namun, kucuran air hanya dirasakan dalam beberapa bulan pertama. Sekarang, sudah hampir dua tahun, ini air sama sekali tak mengalir.
Meski tak ada air yang diperoleh, ia tetap dikenai biaya langganan. ”Berkali-kali saya datang dan mengeluh, mendatangi kantor PAM Jaya di Pasar Mayestik, tetapi petugasnya seperti masa bodoh. Mereka bilang, ’Silakan ibu hubungi bagian teknis saja. Ini nomor teleponnya’,” keluh Eni.
Setelah berulang kali mengajukan keluhan tanpa ada tanggapan, Eni akhirnya pasrah. Ia dan keluarganya kini memilih menggunakan air sumur meskipun terus membayar langganan PAM Jaya.
Pemenuhan air bersih menjadi tantangan berat bagi wilayah yang kondisi air bakunya sudah rusak berat seperti DKI Jakarta. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, kondisi Pulau Jawa secara umum memang masuk kategori kritis air. Sekitar 65 persen penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta jiwa menetap di Pulau Jawa yang luasnya hanya 7 persen dari seluruh luas daratan Indonesia. Padahal, potensi air Pulau Jawa hanya 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia.
Menurut Koordinator Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional Walhi M Islah, sebanyak 13 sungai yang mengalir di Jakarta tidak layak digunakan. Akibatnya, Jakarta bergantung pada pasokan air baku dari wilayah lain.
Alternatif menggunakan air tanah juga bukan pilihan bijak. Berdasarkan pemantauan terhadap 48 sumur yang dilakukan di Jakarta, hampir sebagian besar sumur yang dipantau mengandung bakteri coliform dan fecal coli dalam persentase yang melebihi baku mutu.
Masyarakat tidak mampu menjadi kelompok yang paling terpinggirkan atas akses air bersih. Mereka yang tidak mendapatkan layanan perusahaan daerah air minum (PDAM) harus adu kuat menyedot air tanah. Dengan pembangunan properti yang semakin masif, mereka yang mampu memakai jet pump lebih besar menguasai air.
Hal ini dialami warga yang tinggal di belakang sebuah mal baru di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Natim (45) mengatakan, sumur-sumur warga yang tinggal di sekitar mal baru itu mendadak kering. Padahal, sebelum mal tersebut dibangun, tidak pernah terjadi kekeringan.
”Sumur pompa saya enggak keluar air beberapa hari. Beberapa tetangga saya juga kehabisan air. Katanya, sih, kesedot mal baru yang waktu itu lagi dibangun,” ungkap Natim.
Setelah didata, tercatat ada belasan warga yang air tanah di sekitar rumahnya benar-benar kering. Akhirnya, warga mendapat kompensasi dari pengelola proyek pembangunan mal tersebut. ”Saya lupa jumlahnya. Kalau tidak salah, Rp 200.000-Rp 500.000 per keluarga,” ujar Natim.
Lebih mahal
Bagi warga yang tinggal di daerah permukiman padat, air PDAM menjadi andalan. Namun, kalau pelayanan tidak beres, mereka harus mengeluarkan biaya lebih mahal untuk memperoleh air bersih.
Hal ini yang dialami warga rumah susun Penjaringan, Kelurahan Pademangan, Jakarta Utara. Sejak tahun 2000, debit air PAM Jaya terasa mulai berkurang. ”Penghuni sampai harus menyambung selang dari tangki penampungan,” kata Haryono (40), pengelola rumah susun.
Tidak itu saja, penghuni di lantai II sampai VI terpaksa memakai mesin pompa air agar air PAM bisa ditarik sampai ke rumah mereka. Masalah debit air akhirnya bisa diatasi pada Mei 2011 setelah warga melakukan protes kepada pengelola PAM Jaya.
Untuk mengatasi kecilnya debit, meteran air utama dipindah ke lokasi yang lebih dekat dengan pipa transmisi PAM Jaya. Namun, warga dan pengelola harus merogoh kocek lagi untuk membeli pompa air. ”Kalau tidak pakai pompa, tetap tidak kuat mengalir ke dalam,” kata Haryono.
Pantas jika masyarakat mempertanyakan kinerja PAM Jaya dan mitra swastanya, Palyja dan Aetra, dalam menyediakan air bersih. Padahal, kerja sama mereka sudah berjalan hampir 13 tahun.
Koordinator Advokasi Air Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Karunia Asih Rahayu mengatakan, pelayanan PDAM termasuk dalam lima besar keluhan masyarakat. ”Masyarakat mempertanyakan janji privatisasi yang katanya akan bisa memperbaiki layanan,” kata Rahayu.
Direktur Utama PAM Jaya Maurits Napitupulu mengakui, banyak kekurangan dalam pelayanan PDAM. Ia mencontohkan, baru sekitar 62 persen wilayah yang bisa terlayani dengan 800.000 pelanggan. Itu pun tidak semua benar-benar mendapatkan air.
”Ada sekitar 150.000 pelanggan yang dapatnya angin karena air tidak mengalir. Mitra kami itu agresif melakukan penyambungan baru untuk mengejar target saja,” kata Maurits.
Beragam masalah lain—seperti tingkat kebocoran air yang masih sangat tinggi, yaitu sekitar 46 persen, dan keberhasilan penagihan ke konsumen yang masih di kisaran 80 persen—dinilai Maurits sebagai dampak dari kontrak kerja sama pengelolaan yang tak adil antara PAM Jaya dan mitra swasta.
”Kami serba susah, mau melakukan pengawasan, terbentur klausul persetujuan dalam kontrak,” kata Maurits.(HAR/DOT)
Post Date : 08 Juli 2011
|