|
Bandung, Kompas - Akibat berbagai kerusakan lingkungan yang semakin memburuk, Indonesia menjadi pengimpor air virtual yang dari tahun ke tahun semakin besar. Kondisi ini sangat bertolak belakang dibandingkan dengan sejumlah negara maju yang meskipun menjadi pengimpor air virtual, namun mereka melakukan perbaikan lingkungannya hingga air semakin cukup tersedia untuk berbagai pemanfaatan oleh rakyatnya. Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Dr Mubiar Purwasasmita dalam diskusi "Pengelolaan Sumber Daya Air di Kota dan Kabupaten Bandung", yang diselenggarakan oleh Green Life Society di Bandung, Senin (5/1). Dikatakan, 50 tahun membangun, khususnya pembangunan wilayah perairan, kita sama sekali tidak memperhatikan pengelolaan sungai-sungai kecil. Ribuan bahkan jutaan sungai kecil yang sebenarnya dapat menanggulangi kekeringan, mengendalikan banjir, melestarikan ekosistem kawasan hancur total. "Bukan hanya di Bandung, di kota-kota kecil juga tinggal menunggu kehancuran serupa," paparnya. Impor makanan Mubiar menjelaskan, mudah sekali mengetahui bahwa Indonesia sudah jadi pengimpor air virtual, yaitu dengan menghitung bahan-bahan makanan apa saja yang didatangkan dari luar negeri ke Indonesia, dan menghitung berapa kebutuhan air untuk menghasilkan bahan makanan tersebut. Ketua Dewan Pakar DPKLTS itu menjelaskan, Jepang memang net importir dalam pengertian air visual. Tetapi, dia masih mempertahankan alamnya. "Jadi, Jepang itu mengambil air dari luar untuk mempertahankan alamnya supaya kebutuhan warganya bisa tetap terpenuhi kalaupun penduduk terus bertambah. Sementara kita menjadi net importir, tetapi terus merusak alam," ujarnya. Oleh karena itulah, Mubiar menegaskan, memang perlu perubahan paradigma yang mendasar dalam pengelolaan alam dan lingkungan kita. "Kalau itu tidak kita lakukan, kita akan menghadapi bencana yang luar biasa," ungkapnya.(oki) Post Date : 07 Januari 2004 |