Denpasar, Kompas - Indonesia sebagai negara berkembang menjadi salah satu sasaran pembuangan sampah elektronik dari industri di negara-negara maju. Masuknya 9 truk peti kemas berisi monitor komputer bekas dari Massachusetts, Amerika Serikat, pada 2009, salah satu buktinya.
Jim Puckett, Koordinator Jaringan Aksi Basel (Basel Action Network), mengingatkan itu dalam konferensi pers di sela-sela acara ”Simultanous Extraordinary Conference of the Parties Basel, Roterdam, and Stockholm Conventions” di BICC, Nusa Dua, Bali, Senin (22/2).
Acara itu dihadiri 1.200 delegasi dari 192 negara. Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta membuka acara itu disaksikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Pertemuan akan dilanjutkan dengan Konferensi Menteri Lingkungan Hidup Dunia (Special Session of The United Nation Environment Programme Governing Council/GC-UNEP), 24-26 Februari.
Menurut Jim, ekspor sampah elektronik (e-waste) ke negara berkembang bermotif ekonomi. Namun, dalam jangka panjang dampaknya bisa mengganggu kesehatan, seperti merusak susunan saraf anak-anak. Soalnya, sampah elektronik mengandung zat-zat kimia berbahaya yang tidak bisa didaur ulang.
Tentang apakah AS sebagai pihak importir bisa dikenai sanksi atas pengiriman sampah elektronik ke negara-negara berkembang, Jim angkat bahu. ”Ada tiga negara yang tidak mau menandatangani Konvensi Basel, yaitu Afganistan, Haiti, dan Amerika. Jadi, sulit,” ujarnya.
Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner mengingatkan negara-negara berkembang agar bersiap menghadapi banjir sampah elektronik dari negara-negara, seperti China dan India.
Gusti, saat membuka konferensi, membenarkan bahwa Indonesia adalah wilayah sangat rawan untuk pembuangan sampah dan limbah berbahaya. ”Ada sekitar 2.000 titik berpotensi menjadi pintu masuk,” ujarnya.
Aktivitas industri pertanian dan industri lainnya di Indonesia juga menghasilkan bahan beracun dan berbahaya (persistent organic pollutants/POP).
Menurut Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Bahan dan Limbah Berbahaya Beracun Imam Hendargo Abu Ismoyo, kasus pengiriman 9 kontainer komputer bekas dari AS sudah diproses secara hukum. ”Barangnya dipulangkan. Importirnya ditegur,” ujarnya.
Tidak jelas
Sementara itu, Minggu, sejumlah perwakilan organisasi nonpemerintah bertemu dengan Gusti. Hadir, antara lain, adalah Chalid Muhammad (Institut Hijau Indonesia), Riza Damanik (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), dan Hendro Sangkoyo (Sekolah Ekonomika Demokratik), dan beberapa orang lainnya.
Menurut siaran pers dari Teguh Surya dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pada pertemuan itu Gusti menjelaskan tentang pertemuan akbar tersebut.
Namun, menurut pihak lembaga swadaya masyarakat, penjelasan tersebut tidak menyentuh substansi soal penggabungan tiga konvensi (Basel, Rotterdam, Stockholm) karena tak ada analisis dampak pada sisi ekologi, ekonomi, dan politik.
Menteri menjelaskan, setidaknya ada dua keuntungan bagi Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan itu, yaitu pertama, dunia akan menilai komitmen Indonesia terhadap lingkungan besar. Kedua, Indonesia dipercaya dapat menyukseskan acara.
”Bagaimana mungkin komitmen terhadap lingkungan hanya dinilai dari penyelenggaraan even global. Seharusnya, Indonesia mesti memiliki target yang lebih berguna bagi kepentingan nasional dan keselamatan warga bukan pencitraan semata, seperti biasa dipertontonkan SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono),” tulis Teguh dalam siaran persnya. (SUT/*/ISW)
Post Date : 23 Februari 2010
|