Kopenhagen, Denmark - Meskipun tidak ada kesepahaman bersama dalam kelompok G-77 soal pendanaan untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Indonesia optimistis akan mendapatkan manfaat. Adapun dalam isu tersebut kelompok G-77 pecah.
Delegasi Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC) Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) dalam Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) optimistis, apa pun keputusan konferensi, skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) diyakini akan menjadi bagian kesepakatan bersama.
Indikasinya adalah REDD telah masuk sebagai salah satu materi pembahasan di bawah kelompok kerja adhoc aksi kerja sama jangka panjang (AWG LCA) yang minim kontroversi.
”Memang ada perbedaan di G-77, tetapi secara umum dapat menerima,” kata Ketua Negosiator RI Rachmat Witoelar kepada wartawan di Kopenhagen, Denmark, Rabu (9/12).
Arab Saudi berbeda
Perbedaan tegas muncul dalam pembahasan internal G-77, yang datang dari delegasi Arab Saudi. Mereka menilai REDD hanya menguntungkan negara-negara pemilik hutan, sedangkan negara di Timur Tengah tak akan mendapatkan manfaat karena tak memiliki hutan.
Konsekuensinya, pendanaan adaptasi akan banyak tersedot ke negara yang memiliki hutan sehingga jumlahnya semakin kecil. Sebagai penyeimbang, delegasi Arab Saudi usul agar suara G-77 soal pendanaan adaptasi memasukkan teknologi menangkap dan menyimpan karbon dioksida (carbon capture and storage/CCS). Namun, usulan tersebut ditolak kelompok negara pulau-pulau kecil (AOSIS) yang tetap mendorong pengadopsian REDD dalam sikap resminya. Adopsi usulan CCS butuh proses panjang seperti REDD yang mulai dibahas lima tahun lalu.
Hingga kemarin malam G-77 belum juga satu suara mengenai REDD. Akibatnya, paparan sikap pada rapat pleno tidak satu suara. ”Dari dulu soal REDD sudah tidak satu suara,” kata Tri Tharyat, negosiator Indonesia.
Secara umum, di kalangan negara-negara pemilik hutan telah muncul kesepakatan bahwa REDD harus disepakati dalam COP-15 UNFCCC kali ini. Hanya saja, metodologi dan skema pendanaannya berbeda.
Menurut Rachmat, target tertinggi Indonesia adalah pengadopsian REDD dalam kesepakatan bersama di akhir COP-15. Kalaupun tidak, REDD bisa menjadi bagian terpisah dari kesepakatan bersama tersebut.
Tawarkan keseriusan
Untuk memperkuat posisi, Indonesia akan memaparkan aktivitas persiapan REDD di lapangan, yang di antaranya dilakukan di Kalimantan. Proyek itu dilakukan bekerja sama dengan Australia dan Jerman.
”Kami akan sampaikan tahap persiapan secara lebih detail, termasuk soal metodologi penghitungan karbon dioksidanya,” kata negosiator REDD, Wandojo Siswanto.
Akan tetapi, hingga kini Indonesia belum menyelesaikan pola pembagian pendanaan, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, hingga masyarakat lokal.
”Kami akan selesaikan segera setelah ada kejelasan soal yang kami dapat dari sini,” kata Wandojo, menjawab pertanyaan wartawan asing dalam jumpa pers.
Soal pembagian manfaat merupakan salah satu isu penting dalam skema REDD, selain metodologi penghitungan karbon dioksida yang berdasarkan prinsip bisa diukur, dilaporkan, dan dapat diverifikasi di lapangan.
Hingga saat ini Indonesia telah menerima komitmen bantuan untuk persiapan program REDD. Di antaranya, dari REDD PBB atas inisiatif Norwegia serta Bank Dunia dengan total hibah sekitar Rp 350 miliar. Jumlah itu belum mencukupi kebutuhan proyek percontohan REDD secara keseluruhan.
Menurut pakar klimatologi dan perubahan iklim, Rizaldi Boer, yang disampaikan kepada Kompas pekan lalu, menjalankan skema REDD dengan metodologi yang ditetapkan UNFCCC tidaklah mudah. Padahal, lanjutnya, dengan semua good practice yang ada di masyarakat sendiri, emisi karbon dari hutan bisa turun sekitar 10 persen. (Gesit Ariyanto dari Kopenhagen, Denmark)
Post Date : 10 Desember 2009
|