Melbourne, Kompas - Sekitar 50 orang Indonesia hari ini, Sabtu (11/7), mengikuti pertemuan puncak mengenai perubahan iklim di Melbourne, Australia, dan di sana peserta diberi kesempatan berlatih untuk belajar memberikan penjelasan mengenai perubahan iklim.
Acara ini diselenggarakan oleh yayasan The Climate Project yang mendukung Al Gore, bekerja sama dengan Australian Conservation Foundation untuk melatih sejumlah orang untuk melakukan advokasi dan menyebarluaskan upaya menanggulangi perubahan iklim. Acara di Melbourne akan diikuti sekitar 300 peserta dari negara-negara Asia Pasifik. Setiap negara akan mengirimkan utusannya untuk dilatih langsung oleh Al Gore sebagai sukarelawan untuk melakukan advokasi tentang perubahan iklim kepada masyarakat luas.
Sejauh ini sudah terjaring sekitar 2.600 sukarelawan dari berbagai negara di dunia. Di Indonesia saat ini baru ada satu orang, yaitu Amanda Katili Niode. Amanda telah menyebarluaskan pemahaman dan kesadaran tentang hal yang harus dilakukan untuk mencegah laju perubahan iklim.
”Sepulang dari Melbourne nanti semua harus melakukan kampanye di grass roots dan komunitas masing-masing,” kata Amanda Jumat (10/7) di Melbourne, Australia.
Menurut Amanda, jumlah peserta Indonesia yang cukup besar karena Al Gore merasa pentingnya peran Indonesia dalam persoalan perubahan iklim. Hal itu karena Indonesia secara kewilayahan cukup rentan terhadap ancaman perubahan iklim. ”Tentu dalam menyajikan materi harus disesuaikan dengan budaya, kondisi lokasi setempat, dan budayanya,” ujar Amanda, yang sudah berhasil menjangkau sekitar 10.000 audiens.
Berbagai latar belakang
Siapa saja yang telah mendengarkan kampanye tentang perubahan iklim tersebut, menurut Amanda, berasal dari bermacam-macam latar belakang, antara lain mahasiswa, petani, dan pengusaha.
”Kalau tadinya hanya satu orang sudah bisa menjangkau 10.000 orang, dengan 50 orang tentu bisa lebih banyak lagi,” ujarnya. Mereka yang belajar di Melbourne, kata Amanda lebih lanjut, harus berkomitmen melakukan kampanye dan advokasi kepada sekitar 10.000 orang dalam setahun. ”Ini harus dikerjakan secara sukarela,” kata Amanda.
Salah seorang peserta, Direktur Humanitarian Forum Indonesia Hening Parlan mengatakan, ”Indonesia sebuah negara yang sangat rawan terhadap bencana, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan, yang hampir semuanya terkait erat dengan perubahan iklim. Sayangnya, jarang sekali orang yang mulai mendekatkan dua isu, yaitu pengurangan risiko dengan perubahan iklim. Sering kali justru kedua isu tersebut diberi jarak sehingga pembicaraan adaptasi perubahan iklim tidak melibatkan mitigasi bencana.
Hal terpenting, menurut dia, adalah masyarakat mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan iklim untuk mengurangi risiko bencana. Sepulang dari Melbourne, dia mengharapkan ada peningkatan dan perluasan kesadaran tentang perubahan iklim di berbagai komunitas.
Sementara itu, menurut penyelenggara Australian Conservation Foundation di Australia, semua informasi tentang kegiatan di Melbourne dapat menghubungi m.lowe@acfonline.org.au atau j.norman@acfonline.org.au. (ISW)
Post Date : 11 Juli 2009
|