|
Jakarta,- Rencana pemerintah mengonversi hutan alam seluas 1,8 juta hektare di perbatasan Kalimantan-Malaysia menjadi perkebunan kelapa sawit bisa mengancam sumber daya air kedua negara. Sebab, tanaman sawit rakus air. Padahal, daerah itu merupakan kantong air. Menurut kami, perkebunan kelapa sawit tersebut lebih banyak dampak buruknya daripada dampak positifnya, kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad dalam jumpa pers di Kantor Walhi, Jalan Tegal Parang. Dia memperkirakan krisis air bukan hanya akan terjadi di Kalimantan, tetapi juga di Malaysia. Alam tidak mengenal batas wilayah administrasi. Malaysia dan Indonesia adalah satu ekosistem, ujarnya. Dia menengarai, proyek tersebut hanyalah usaha para investor untuk mendapatkan kayu-kayu di Kalimantan. Yang dikejar adalah pembukaan sebanyak mungkin lahan dengan izin pemanfaatan kayu (IPK). Bukan mengintensifkan pengelolaan lahan, ujarnya. Pengampanye untuk Isu Hutan dan Perkebunan Walhi Rully Syumandan menambahkan, berkurangnya hutan di Indonesia bukan disebabkan penebangan liar, tapi konversi hutan. Pada 2003, hutan alam seluas 15,6 juta hektare dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Semua hutan alam itu ditebang, ujarnya. Kemudian pada 2004, konversi meningkat menjadi 15,9 juta hektare. Kenyataannya, yang ditanami kelapa sawit baru 5 juta hektare. Artinya, ada 10,4 juta hektare yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan itu. Rully juga menilai, perkebunan kelapa sawit malah akan menghilangkan mata pencarian masyarkat sekitar. Ini komoditas eksotis dan monokultur. Kami berpikir, mengubah pola hidup dan budaya masyarakat tidak mudah. Pada dasarnya masyarakat punya banyak pilihan mata pencaharian, kemudian tiba-tiba dihadapkan dengan sawit, katanya. Walhi mendesak pemerintah segera menghentikan rencana itu karena akan menimbulkan economic loss yang jauh lebih besar dibanding pendapatan yang diperoleh. Rencana tersebut juga perlu dikonsultasikan dengan masyarakat setempat dan menjelaskan dampak positif dan negatif sejujur-jujurnya. Kami juga mendesak pemerintah agar mengintensifkan komoditas pertanian jangka panjang seperti damar, karet, dan rotan yang lebih ramah lingkungan dibanding tanaman monokultur, pungkasnya. (yog) Post Date : 23 Oktober 2005 |