|
Jika India dengan Mumbai dan Kalkuta-nya dikenal di seantero dunia sebagai ibu kota permukiman kumuh dunia (global slum capital), maka Indonesia bisa dikatakan adalah mal jamban terpanjang di dunia. Bayangkan, di Jakarta saja ada lebih dari satu juta septic tank. Sekitar 60 persen rumah di Ibu Kota memiliki sumur yang berjarak kurang dari 10 meter dari septic tank. Melimpahnya populasi septic tank yang terus bertambah tanpa adanya regulasi yang baik ini mengakibatkan pencemaran air tanah dan membahayakan jutaan penduduknya. Yang membuat orang geleng-geleng kepala, setelah 63 tahun merdeka, ternyata 72,5 juta penduduk Indonesia masih buang air besar (BAB) di luar rumah (Laporan Pemerintah RI ke Millennium Development Goals/MDGs). Versi Departemen Kesehatan bahkan lebih besar lagi, 100 juta orang! Angka itu menjadi lebih menyeramkan lagi manakala dikaitkan dengan kenyataan masih sangat rendahnya akses masyarakat ke air minum yang bersih. Di Jakarta saja, contohnya, lebih dari 60 persen penduduk (24 persen melalui sistem pompa dan 37 persen sistem sumur) masih mengandalkan air tanah yang diambil langsung melalui sumur ataupun pompa untuk konsumsi minum dan makanan mereka serta untuk kebutuhan lainnya. Dari penelitian yang dikutip Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDO), 70 persen air tanah di Jakarta ini terkontaminasi tinja atau bakteri lain seperti E coli. Padahal, separuh lebih pedagang makanan di perkotaan masih mengandalkan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Gambaran kota-kota besar lain di Indonesia tidak jauh berbeda. Dilihat dari akses ke air bersih dan sanitasi yang layak, angka di pedesaan bahkan jauh lebih buruk. Untuk air minum, masyarakat pedesaan yang terlayani fasilitas air bersih hanya 8 persen. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004, hanya 41 persen penduduk perkotaan yang terlayani air bersih lewat perpipaan. Ini tidak mengherankan karena lebih dari separuh (164 dari 318) Perusahaan Air Minum (PAM) atau Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam kondisi ”sakit”, dengan beban utang Rp 5,4 triliun. Untuk sanitasi, data Bank Pembangunan Asia tahun 2005 juga memperlihatkan, hanya 69 persen penduduk perkotaan dan 46 persen penduduk pedesaan (atau rata-rata 55,43 persen secara keseluruhan) terlayani fasilitas sanitasi yang layak. Bandingkan dengan Singapura (100 persen), Thailand (96 persen), Filipina (83,06 persen), Malaysia 74,70 persen) dan Myanmar (64,48 persen). Buruknya kualitas sanitasi juga tercermin dari rendahnya persentase penduduk yang terkoneksi dengan sistem pembuangan limbah (sewerage system). Di Jakarta, hanya 1 persen penduduk terhubung dengan sistem pembuangan limbah. Sebagai perbandingan, di Manila (Filipina) 7 persen, Ho Chi Minh (Vietnam) 12 persen, Dhaka (Banglades) 30 persen, Phnom Penh (Vietnam) 51 persen, New Delhi (India) 60 persen, dan Kuala Lumpur (Malaysia) 80 persen. Karena itu, menjadi tidak mengherankan ketika kondisi ini dikaitkan dengan tingginya angka kematian bayi dan prevalensi penyakit yang bersumber dari kondisi sanitasi yang buruk di Indonesia. Angka kematian bayi Indonesia, yakni 50 per 1.000 kelahiran, hidup sekarang ini adalah yang tertinggi kedua di Asia setelah Kamboja. Dari 200.000 anak balita yang meninggal karena diare setiap tahun di Asia, separuh di antaranya adalah di Indonesia. Yang dimaksud sanitasi sendiri adalah bagaimana masyarakat tidak membuang air besar/air kecil (limbah manusia) atau limbah lain seperti limbah rumah tangga (sampah), limbah industri, limbah lain, dan limbah berbahaya secara sembarangan. Selain itu, sanitasi juga berarti cara mengelola, memanfaatkan, dan mendaur ulang limbah-limbah tersebut sehingga tidak membahayakan kehidupan. Berbagai kendala Laporan MDGs tahun 2007 mencatat ada beberapa kendala yang menyebabkan masih tingginya jumlah jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Di antaranya adalah cakupan pembangunan yang sangat besar, sebaran penduduk yang tak merata dan beragamnya wilayah Indonesia, keterbatasan sumber pendanaan. Pemerintah selama ini belum menempatkan perbaikan fasilitas sanitasi sebagai prioritas dalam pembangunan. Faktor lain yang juga menjadi kendala adalah kualitas dan kuantitas sumber air baku sendiri terus menurun akibat perubahan tata guna lahan (termasuk hutan) yang mengganggu sistem siklus air. Selain itu, meningkatnya kepadatan dan jumlah penduduk di perkotaan akibat urbanisasi. Masalah kemiskinan juga ikut menjadi penyebab rendahnya kemampuan penduduk mengakses air minum yang layak. Terakhir adalah buruknya kemampuan manajerial operator air minum itu sendiri. Dari sisi sanitasi, selain masih rendahnya kesadaran penduduk tentang lingkungan, kendala lain untuk terjadinya perbaikan adalah karena belum adanya kebijakan komprehensif yang sifatnya lintas sektoral, rendahnya kualitas bangunan septic tank, dan masih buruknya sistem pembuangan limbah. Pendekatan holistik Selama ini, membahas masalah kebiasaan masyarakat yang membuang kotoran secara sembarangan dianggap sebagai hal aneh dan tak sedikit yang menganggap itu semata urusan domestik. Dari sisi pemerintah sendiri, belum menjadi prioritas. Menurut Departemen Kesehatan, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi hanya sekitar 820 juta dollar AS atau setara Rp 200/orang/tahun. Padahal, kebutuhannya mencapai Rp 470/rupiah/tahun. Versi Bank Pembangunan Asia, perlu Rp 50 triliun untuk mencapai target MDGs 2015, dengan 72,5 persen penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Dalam APBN tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu, menurut seorang narasumber, hanya 1/214 dari anggaran subsidi BBM. Selain lemahnya visi menyangkut pentingnya sanitasi, terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi ini sebagai investasi, tetapi mereka masih melihatnya sebagai biaya (cost). Padahal, menurut perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian. Selain itu, keberhasilan memperbaiki akses air minum dan sanitasi juga memengaruhi dan terkait dengan pencapaian target MDGs lainnya seperti pengurangan angka kemiskinan, akses ke pendidikan, kesehatan masyarakat, dan kesetaraan gender, dipulihkannya kerusakan lingkungan, dan dikuranginya permukiman kumuh. Karena itu, yang diperlukan, menurut salah seorang panelis, adalah pendekatan menyeluruh (holistik) yang terpadu yang sifatnya lintas sektor, terdesentralisasi dan berbasis masyarakat, dengan melihat keterkaitan antar-aspek tersebut di atas. Di sini peran pemimpin di daerah sangat menentukan karena akhirnya mereka yang harus lebih banyak terlibat langsung. Misalnya, pada tahun 1980-an, ibu-ibu PKK sudah turun hingga ke masyarakat untuk mengampanyekan pembuatan WC hingga di pelosok kampung. Tahun 1980 ada yang disebut Lomba Rumah Sehat PKK dan Arisan Jamban juga sudah diperkenalkan oleh Yayasan Indonesia Sejahtera pada tahun 1980-an. Konsep Indonesia yang terbukti sukses ini juga sudah banyak diadopsi oleh negara-negara lain seperti India. Sayangnya, di Indonesia semua program dan jaringan tersebut ikut buyar dengan runtuhnya Orde Baru dan baru sekarang program-program seperti itu dilakukan lagi. Pengalaman Dusun Ciseke, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi menunjukkan sebenarnya kita bisa membuat lompatan besar dalam pencapaian target MDGs menyangkut akses air minum bersih dan sanitasi dasar jika kita mau. Wilayah Cidahu ini pernah sangat terkenal tahun 2005 karena merebaknya wabah polio. Sebelumnya sebagian besar warga di daerah ini terbiasa membuang kotoran secara sembarangan, baik di kolam, sungai, maupun kebun. Melalui pendekatan program pembangunan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) yang dilancarkan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, dalam tempo empat bulan, semua 134 keluarga yang tinggal di 121 rumah berhasil membebaskan diri dari BAB sembarangan. Sri Hartati Samhadi Post Date : 19 Maret 2008 |