|
Staf pengajar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Ir Sunjoto DIP HE DEA akan berbicara di hadapan delegasi dari 180 negara peserta Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali. Apa yang akan disampaikan pengajar di Fakultas Teknik Sipil ini? "Sistem Drainase Air Hujan Berwawasan Lingkungan", begitu judul penemuannya di tahun 1993. Dasar pemikirannya, mulai tahun 2000, Pulau Jawa dan Madura diperhitungkan mengalami defisit air hingga 50 persen. Konsep itu berbicara soal bagaimana air hujan yang jatuh ke atap rumah penduduk, tidak terbuang percuma, tetapi disimpan dalam sumur resapan. Usaha konservasi air dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menetapkan suatu kawasan menjadi daerah resapan air yang pada umumnya berada di hulu dari daerah yang dimanfaatkan sebagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Cara lainnya, memanfaatkan sumur resapan air hujan untuk gedung dan parit resapan air untuk jalan, serta cara vegetatif, berupa jalur hijau. Dengan perhitungan bahwa air yang jatuh di atap menggenang di halamam sama dengan kebutuhan air yang dipakai makan, minum, mandi, dan cuci warga kota selama setahun, sistem drainase yang konvensional, seperti sekarang ini akan membuang 37 juta meter kubik air. Padahal dalam satu tahun kebutuhan air domestik mencapai 36 juta meter kubik. "Daripada air dibuang, bisa diendapkan kembali ke tanah untuk menopang kebutuhan tersebut. Ini namanya mazhab pro air. Itu yang akan saya presentasikan. Indonesia harusnya mendapat penghargaan dalam hal ini, karena rumus-rumusnya justru datang dari Indonesia. Tiongkok sudah punya ide, tapi tidak bisa merumuskan. Sedang di Indonesia ada tiga rumus, dari PU (Departemen Pekerjaan Umum, Red), Universitas Indonesia, dan dari saya," kata peraih Kalpataru tahun 1995. Substansi Terkait Pertemuan Bali, mantan Kepala Badan Pengembangan Perekonomian dan Investasi Provinsi DI Yogyakarta menyatakan yang terpenting adalah substansinya. "Saya khawatir, jangan-jangan ini hanya kebanggaan saja karena konferensi diikuti 180 negara lebih. Yang perlu kita lihat substansinya. Pertama, global warming adalah 'dosa' Amerika. Kedua, Amerika tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto. Ketiga, ada kesalahan fatal dengan menuduh negara-negara sedang berkembang dan negara miskin sebagai penyumbang terbesar gas karbon," katanya. Amerika, lanjut Sunjoto, adalah produsen karbon terbesar. Tetapi untuk menurunkan emisi secara bersama-sama, negara itu tidak mau dan menuduh sistem pertanian di Indonesia sebagai penyebabnya. "Amerika hanya mencari kambing hitam. Celakanya, tudingan terhadap sistem irigasi dan sawah pasang-surut itu dilontarkan peraih penghargaan Nobel Perdamaian 2007, Al Gore. Itu harus diantisipasi. Bagaimana sikap Indonesia?" tanyanya. Sebaliknya, Sunjoto memuji Perdana Menteri Australia yang baru, Kevin Rudd. "Saya rasa dia sangat cerdas, tegas, dan bersedia menandatangani Protokol Kyoto. Dengan Rudd, segalanya menjadi berbeda," katanya saat ditemui (1/12). Yang menarik, Rudd hanya punya 20 menteri dalam kabinet, dengan dua menteri bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup, yaitu Menteri Lingkungan, yang mantan rocker Peter Gareth dan Menteri Khusus Global Warming yang dijabat keturunan Tionghoa, Penny Wong. CDM Menyinggung keberadaan Protokol Kyoto, Sunjoto menyatakan ada skema menarik, yakni clean development mechanism (CDM). Indonesia harus bisa memanfaatkan skema itu karena memiliki potensi yang luar biasa. Australia ingin sekali memanfaatkan skema itu, sehingga Rudd menunjuk menteri khusus untuk menanganinya. "Potensi angin dan suryanya besar. Australia sangat panas dan lahannya masih luas. Australia bisa memanfaatkan nilai ekonomi dari sertifikat pengurangan emisi," katanya. Australia sudah berencana menjual menjual Certificate of Emission Reduction (CER) ke negara-negara yang tidak mau menurunkan emisi gas buangnya. Menyinggung masalah penyumbang emisi dikaitkan dengan kebakaran hutan, Sunjoto menyatakan Indonesia dituduh sebagai negara nomor tiga penyumbang kebakaran hutan. "Tetapi itu pada saat tertentu. Dalam jangka panjang, kita bisa nomor 18. Menurut saya, Amerika sudah membuat dosa besar, tapi mencari kambing hitam dengan korban rakyat kecil. Dalam benak saya, Indonesia harus bisa membuat tim yang solid, punya keandalan tertentu, dan berasal dari berbagai sektor untuk memanfaatkan CDM," ucapnya. Ketika ditanya tentang tudingan bahwa irigasi dan sawah pasang-surut juga menjadi penyebab pemanasan global. Sunjoto menyatakan,"Kami tidak rela. Sistem irigasi adalah tulang punggung aktivitas ekonomi rakyat, juga sebagai daerah konservasi air. Yang ini tidak pernah dinilai. Yang dilihat hanya pascapanen ketika terjadi pembakaran, menyebabkan gas karbon dan proses pembusukan menghasilkan gas metan. Ini saja yang dilihat, tetapi tidak melihat bagaimana ketika irigasi itu mulai berjalan, sampai ke sawah-sawah. Ini suatu sistem konservasi air dengan perhitungan yang matang," ujarnya. Dia khawatir, kalau Indonesia tidak bisa memperjuangkan hal itu, bisa berujung pada embargo produk pertanian Indonesia. Meskipun demikian, dia mengakui Indonesia bersalah dalam proyek sejuta hektare lahan gambut. Tetapi saat ini sudah disempurnakan oleh Prof Sunaryo, Prof Harjoso, Prof Sumantri dan Prof Tedjoyuwono dari UGM. Mereka membuat konsep gambut tidak boleh kering. Konsep ini muncul dengan perhitungan bahwa jika terjadi kontak dengan oksigen, gambut justru akan menjadi racun tanaman dan kalau kering mudah terbakar. [SP/Fuska Sani Evani] Post Date : 04 Desember 2007 |