Indonesia Akan Krisis Air

Sumber:Suara Pembaruan - 27 Februari 2006
Kategori:Air Minum
Forum Air Dunia II (World Water Forum) di Den Haag pada Maret 2000 sudah memprediksikan Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025.

Penyebabnya adalah kelemahan dalam pengelolaan air. Salah satunya di antaranya pemakaian air yang tidak efisien. Laju kebutuhan akan sumber daya air dan potensi ketersediaannya sangat pincang dan semakin menekan kemampuan alam dalam menyuplai air.

Derajat kelangkaan air semakin meningkat. Sementara pertumbuhan penduduk yang pesat disertai dengan pola hidup yang semakin menuntut penggunaan air yang berlebihan semakin menambah tekanan terhadap kuantitas air. Daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kota terhadap air cukup memadai sehingga tidak merasa ada kesulitan mendapatkan air.

Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Departemen Pertanian di Bogor, Kasdi Subagyono, belum lama ini mengungkapkan, masyarakat juga memanfaatkan air bawah permukaan (groundwater) dengan menggunakan pompa, dan sangat jarang memikirkan dampak penurunan tinggi muka air bawah permukaan dan intrusi air laut.

Petani di kawasan beririgasi juga tidak pernah kebingungan selama fasilitas air irigasi tersedia di saluran. Padahal tidak jarang saluran irigasi kering di musim kemarau. Di saat banjir, pikiran tertuju kepada upaya penyelamatan diri dan bagaimana menyurutkan kelebihan air.

"Mereka tidak berpikir panjang untuk menyimpan kelebihan air tersebut untuk dimanfaatkan pada saat musim kering tiba. Masyarakat memang terdidik untuk tidak memahami sumber daya air yang semakin langka," tutur Kasdi.

Indonesia, ungkapnya, menduduki urutan ke-5 di antara negara-negara yang kaya air setelah Brasil, Rusia, Cina, dan Kanada. Hal ini tercermin juga pada potensi ketersediaan air permukaan, terutama dari sungai, yang menurut catatan Departemen Pekerjaan Umum rata-rata 15.500 meter kubik per kapita per tahun, jauh melebihi rata-rata dunia yang hanya 600 meter kubik per kapita per tahun.

Namun, jumlah yang berlimpah itu ketersediaannya sangat bervariasi menurut tempat dan waktu. Di Pulau Jawa yang penduduknya mencapai 65 persen dari total penduduk Indonesia, hanya tersedia 4,5 persen potensi air tawar nasional. Faktanya, jumlah ketersediaan air di Pulau Jawa yang mencapai 30.569,2 juta meter kubik per tahun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh penduduknya.

Artinya, di pulau yang terpadat penduduknya itu selalu mengalami defisit, paling tidak hingga 2015. Ini akan terus meningkat jika tidak ada upaya konservasi dan efisiensi pemanfaatannya.

Demikian juga di wilayah lain, walaupun pada tahun yang sama masih tergolong surplus, secara umum kelebihan air terus menurun, kecuali Papua dan Maluku.

Ketersedianya pun sangat berfluktuasi antara musim hujan dan musim kemarau. Catatan Departemen PU menunjukkan, pada musim hujan debit air di Sungai Cimanuk, misalnya, mencapai 600 meter kubik per detik, tetapi pada musim kemarau hanya 20 meter kubik per detik.

DAS Kritis

Kasdi menjelaskan, kebutuhan air makin membengkak seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Apalagi, dibarengi dengan ragam kebutuhan yang menuntut sumber daya air dalam jumlah banyak, baik kebutuhan air untuk keluarga, industri, irigasi, penggelontoran, energi, rekreasi, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Ironisnya, daerah aliran sungai (DAS) sebagai fungsi penyangga atau resapan makin jauh dari angan-angan karena sebagian besar rusak. Ini disebabkan terjadinya alih fungsi lahan di daerah penyangga, makin meluasnya lahan kritis (Data Departemen PU menunjukkan, ada 13,1 juta ha pada 1992, tetapi sekarang menjadi 18,5 juta ha), makin luasnya penyebaran DAS kritis (22 DAS kritis pada tahun 1984, menjadi 59 DAS kritis tahun 1998), dan penebangan liar pada areal penyangga.

Berubahnya fungsi DAS adalah awal dari hilangnya volume besar air melalui aliran permukaan yang seharusnya dapat dikonservasi. Faktanya, makin meningkatnya defisit air di wilayah kekurangan air atau menurunnya ketersediaan air di daerah surplus. Mengeringnya kantong-kantong air di daerah cekungan di kawasan DAS adalah indikasi nyata dari makin hilangnya fungsi hidrologis DAS.

Sumber daya air mengalami berbagai tekanan yang berakibat pada makin buruknya kualitas. Salah satu penyebabnya adalah pencemaran pada air permukaan (sungai, danau, waduk) dan air bawah permukaan. Intrusi air laut ke daratan menyebabkan salinitas air di sumur-sumur penduduk meningkat.

Kebocoran-kebocoran limbah industri ke sungai dan lahan-lahan pertanian makin memberikan tekanan pada lingkungan. Sangat tepat jika krisis air dunia saat ini didefinisikan dalam kaitannya dengan keterbatasan pada akses terhadap air minum yang sehat bagi lebih dari satu miliar manusia, dan keterbatasan sanitasi bagi setengah penduduk dunia.

Kasdi menyarankan, setiap pemanfaatan air harus diimbangi dengan upaya konservasi air yang memadai. Paradigma pemberdayaan sumber daya air perlu diubah, dari eksploitasi berkepanjangan kepada budaya konservasi dan pemanfaatan air yang efisien. Pemanfaatan air secara efisien harus menjadi target dalam pengelolaan air.

Dalam konteks irigasi, pemberian air yang efisien tidak selalu dengan jumlah yang sedikit, tetapi pada nilai ekonomi yang bisa dihasilkan dari pemanfaatan air. Namun, pemberian air sesedikit mungkin menjadi target untuk memperoleh hasil ekonomi yang tinggi.

Oleh karena itu, dalam berbagai usaha pemanfaatan air, konsep Water Use Efficiency dapat diterapkan. Dalam budi daya tanaman, konteks ini diartikan sebagai produksi tanaman yang dapat dihasilkan per unit pemanfaatan air. Sebagian hasil dari pemanfaatan air hendaknya diinvestasikan kepada upaya konservasi air secara berkelanjutan. PEMBARUAN/SUMEDI TP

Post Date : 27 Februari 2006