Kopenhagen, Kompas - Ketua Delegasi RI Rachmat Witoelar dan Menteri Lingkungan Jerman Norbert Roettgen dipercaya memfasilitasi pembahasan pembicaraan yang menyangkut masa depan Protokol Kyoto. Ini berarti Indonesia dipercaya membantu memecahkan kebuntuan.
Terpilihnya Rachmat, Presiden Pertemuan Para Pihak Ke-13 (COP-13) di Bali, merupakan pengakuan terhadap kesuksesan Indonesia mendorong kesepakatan Peta Jalan Bali yang hingga kini menjadi panduan negosiasi. ”Angka target penurunan emisi negara maju merupakan persoalan sensitif,” kata Rachmat sebelum memulai memimpin pertemuan tertutup, kemarin.
Presiden COP-15 dikejar target pembahasan di semua sesi selesai setidaknya Selasa malam. Rabu ini, pembahasan sudah melibatkan para menteri (high level meeting). Selanjutnya, diputuskan di tingkat pemimpin negara/pemerintahan, di mana sekitar 110 pemimpin akan hadir.
Penolakan usul negara maju, seperti ditegaskan Kelompok Afrika, karena ada potensi pelemahan komitmen negara maju menurunkan emisi jumlah besar. Protokol Kyoto adalah satu- satunya kesepakatan global yang mengikat negara maju menurunkan emisi dan memberikan bantuan adaptasi akan dampak perubahan iklim kepada negara berkembang.
Sikap Indonesia
Rachmat mengakui, posisinya sebagai fasilitator negosiasi membantu Presiden COP-15 sangat strategis. Posisi itu akan dia gunakan sesuai dengan kepentingan Indonesia seperti umumnya harapan negara berkembang. ”Yaitu Protokol Kyoto tetap hidup dan tetap memastikan tanggung jawab negara maju menurunkan emisi dalam jumlah besar,” katanya.
Indonesia dan negara berkembang dalam kelompok G-77 tetap mendorong negara maju diwajibkan mengurangi emisi.
Uni Eropa dan Amerika Serikat mengakui, sejarah menempatkan mereka sebagai pengemisi gas rumah kaca di atmosfer. Namun, Ketua Delegasi AS Todd Stern kepada wartawan menegaskan, ”Tanpa melibatkan negara berkembang berekonomi maju, saya kira sulit untuk mencapai target ambisius.”
AS tetap pada posisinya, menurunkan emisinya sebesar 17 persen tahun 2020 dari level 2005—atau turun 3 persen dari level emisi 1990. Hal itu mengundang komentar negara-negara lain karena terlalu kecil. (GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark)
Post Date : 16 Desember 2009
|