|
Tulisan pendek ini hendak mengulas tentang tiga hal berkaitan dengan laporan Indeks Pembangunan Manusia UNDP/Bappenas 2004, yakni: (1) ikhwal IPM-UNDP/Bappenas, (2) kesahihannya mengukur partisipasi demokrasi, dan (3) relevansinya sebagai inspirasi agenda Pemerintah Kabinet Bersatu. A>small 2small 0< sebuah kewajaran apabila laporan rutin Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengenai indikator sosial ekonomi mematik diskusi kontroversial negara-negara yang dari tahun ke tahun menurun peringkat kesejahteraannya, atau istilah PBB adalah pembangunan manusia (human development). Tidak terkecuali Indonesia. Untuk sekadar diketahui, arsitek awal dari indikator sosial ekonomi adalah seorang Mahbub ul Haq, mantan Kepala Bappenas-nya Pakistan pada tahun 1970-an. Lain dari kebanyakan ekonom arus utama, pada tahun 1970 ul Haq melalui bukunya, Tirai Kemiskinan, menyampaikan kritiknya yang pedas akan kecenderungan para ahli dan politikus mengukur keberhasilan kinerja ekonomi sosial negara menurut indikator rata-rata GNP (pendapatan nasional bruto) dan anak turunannya ala ekonomi makro John Maynard Keynes: seperti tingkat inflasi, pengangguran, investasi, tingkat pembelanjaan pemerintah, tingkat konsumsi dan posisi neraca perdagangan saja. Ukuran "rata-rata" jelas menegasikan fakta tidak adanya pembagian akses kehidupan dan pendapatan yang merata. "Rata-rata" juga mengandaikan bahwa semua orang sama. Padahal faktanya, sebagaimana dikatakan oleh Amartya Sen dalam bukunya, Inequality Reexamined, banyak unsur ketidaksamaan atau ketidakmerataan di antara warga manusia, kendati ada faktor-faktor bawaan-asali yang sama. Oleh karena itu, tindakan afirmatif bagi sekelompok masyarakat yang terpinggirkan adalah perlu sebagai syarat dasar pemberdayaan dan demokrasi. Belum lagi kalau kita berbicara tentang tingkat kesejahteraan atau "pembangunan manusia", jelaslah bahwa pendapatan (GNP) hanyalah salah satu indikator-simpul dari banyak indikator lainnya. "Banyak" indikator kesejahteraan (pembangunan manusia) lainnya, yang kebanyakan bersifat kualitatif inilah, yang oleh ul Haq dicoba untuk dikuantifikasikan dan dilaporkan sebagai daftar indeks kesejahteraan (pembangunan manusia) UNDP dari negara-negara anggota PBB. Dari tahun ke tahun indeks telah dikembangkan, dari indeks mengenai tingkat kekurangan gizi, kematian bayi, usia harapan hidup, melek huruf, akses air bersih, fasilitas kesehatan, sampai ke pemberdayaan gender dan tingkat kemiskinan. Yang semestinya ditambahkan sebagai komplementer atas indeks "keberhasilan" pembangunan manusia, dalam semangat buku Peter Berger, Piramida Korban Pembangunan, adalah indeks ongkos manusia, lingkungan dan politik-budaya. Sebelum tahun 2000, laporan-laporan UNDP mengenai kesejahteraan (pembangunan manusia) diuntai dengan perspektif "tingkat pengurangan kemiskinan" atau tingkat keberhasilan pembangunan manusia. Namun pada tahun-tahun 2000-an, sekurangnya pada laporan tahun 2001 dan 2004 laporan UNDP mengenai pembangunan manusia dilihat dari perspektif demokrasi. Indikator-indikatornya sebagian besar sama, hanya saja pemaknaannya bergeser tekanan. Barang dagangannya sama, tetapi kemasannya berbeda. Semua indeks pembangunan manusia, tergantung dari selera pembeli, bisa dijelaskan secara logis untuk melihat pengurangan tingkat kemiskinan maupun tingkat partisipasi demokrasi. Indeks demokrasi? Pertanyaan lengkap kita, kini adalah seberapa sahih indeks pembangunan manusia, sebagaimana dilaporkan pada tahun 2004 dan sebagai pembanding referensi tahun 2001, mengatakan tentang tingkat kemampuan partisipasi demokrasi, termasuk pemberdayaan gender? Bahwa partisipasi demokrasi dalam arti kemampuan dan akses mengemukakan pendapat secara kritis mengandaikan terpenuhinya syarat semakin tercapainya kesejahteraan sebagaimana diukur oleh indikator-indikator, IPM UNDP mampu menangkapnya. Namun bahwa tingkat partisipasi demokrasi dari perempuan hanya diukur dari indikator-indikator seperti persentase partisipasi perempuan dalam parlemen, persentase perempuan dalam angkatan kerja, persentase perempuan dalam populasi, rata-rata upah perempuan dalam sektor nonpertanian dibanding upah laki-laki, maka IPM UNDP dapat dikatakan masih jauh dari mencukupi, alias sangat kurus dan dapat mengecoh. Sebab, misalnya, besarnya persentase perempuan dalam angkatan kerja bisa dijadikan sebagai indikator dari eksploitasi atas perempuan daripada tingkat partisipasi demokrasi. Juga, meningkatnya persentase partisipasi perempuan dalam parlemen tidak selalu berarti meningkatnya kualitas partisipasi demokrasi. Di sinilah program afirmasi menjadi mendesak. Tiada partisipasi demokrasi efektif, khususnya dari perempuan, tanpa program-program afirmasi. Tanpa pendidikan politik yang memadai, di mana pendidikan melek huruf saja tidak mencukupi, kualitas dan kapasitas partisipasi perempuan dalam demokrasi sulit untuk dijamin. Mungkin satu-satunya indikator tingkat partisipasi perempuan dalam demokrasi yang dapat mencerminkan pencapaian perempuan adalah apabila rata-rata upah perempuan di sektor nonpertanian (dan mengapa tidak juga di sektor pertanian) sudah setara (atau boleh juga lebih tinggi) dari upah laki-laki. Namun, indikator upah rata-rata bisa menyembunyikan kenyataan, terutama pada sektor nonpertanian, sebab jangan-jangan jumlah perempuan yang bekerja di sektor nonpertanian amatlah kecil di banding dengan jumlah pekerja laki-laki sehingga rata-rata upahnya tidak mencerminkan populasi perempuan seluruhnya. Memang melalui rumus, hal tersebut dapat dikoreksi dengan memasukkan data tentang jumlah populasi perempuan, tetapi ini pun amat lemah daya koreksinya, kecuali trend pertumbuhan dan komposisi laki-laki dan perempuan diikut sertakan. Maka, kalau IPM UNDP hendak dipakai untuk mengukur tingkat partisipasi demokrasi, khususnya perempuan, tidaklah sahih. Kalau digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan yang melengkapi ukuran GNP dan kawan-kawan, dapatlah membantu. Relevansi Akhirnya, kita pun bertanya, seberapa relevan IPM UNDP tersebut untuk dijadikan inspirasi agenda kerja pemerintah baru, pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu? Jawabnya singkat: indikator-indikatornya bisa, tetapi cara penyelesaian yang direkomendasikannya tidak bisa. Kalau kita lihat masing-masing indikator kesejahteraan, seperti usia harapan hidup, tingkat melek huruf orang dewasa, rata-rata tahun bertahan di sekolah, dan pengeluaran per kapita, maka dari tahun 1996 sebelum krisis ke tahun 1999 dan 2002 sesudah krisis moneter, pada umumnya terjadi perbaikan indeks untuk seluruh Indonesia, kecuali untuk pengeluaran per kapita dari 587,4 juta rupiah (1996) menurun ke 578,8 juta rupiah (1999), tapi lantas naik lagi ke Rp 591,2 juta (2002). Untuk daerah tertinggal seperti Papua, indikator kematian anak bawah satu tahun per 1000 kelahiran terlihat ada perbaikan dari 43 (1999) menjadi 50.5 (2002), namun persentase persoalan kesehatan justru meningkat dari 21,2 persen (1999) menjadi 19,3 persen (2002) dari populasi. Semua IPM UNDP diadopsi juga sebagai platform "Tujuan Pembangunan Millenia" (Millennium Development Goals) untuk, pada tahun 2015 bagi 189 anggota PBB, mengurangi menjadi separuh proporsi orang miskin hidup dengan kurang dari 1 dollar AS sehari, semua anak laki-laki dan perempuan menamatkan sekolah dasar, menghilangkan perbedaan antargender di SD dan SLTP/SLTA, mengurangi sampai dua pertiga tingkat kematian anak balita, mengurangi sampai tiga perempat rasio kematian ibu melahirkan, menghentikan menyebaran HIV/AIDS, membalikkan proses penghilangan sumber-sumber lingkungan hidup dan mengurangi sampai separuhnya proporsi orang pada tangga akses berkelanjutan akan air minum yang aman serta mengadakan perbaikan kondisi kehidupan dari tunawisma sekurangnya 100 juta pada tahun 2020. Semuanya itu mengandaikan prasyarat dijalankannya tujuan nomor delapan, yakni menggalang kemitraan global untuk pembangunan dalam area perdagangan dan sistem finansial bebas. Namun dalam berbagai konferensi internasional, khususnya dalam Konferensi Puncak mengenai Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Johannesburg tahun 2002, pengertian "kemitraan global" adalah dibukanya pintu operasional dari korporasi global ke dalam ranah produksi dan distribusi bangsa yang semula dipercayakan kepada negara kesejahteraan dan lembaga-lembaga adat serta koperasi yang dikontrol rakyat dengan usaha kecil dan menengah. Istilahnya kini liberalisasi, desentralisasi, dan privatisasi, serta korporisasi dan komodifikasi. Maka, tujuan-tujuan yang diukur dalam laporan indeks pembangunan manusia atau indeks kesejahteraan yang menuntut tindak afirmatif dan koreksi terhadap hasil dan sistem yang tidak adil atau meminggirkan sebagian besar rakyat tidaklah dapat diserahkan kepada penyelesaian yang neoliberalistis yang telah ikut menciptakan ketidakadilan dan peminggiran itu sendiri. Siapa takut? Dr Francis Wahono Direktur CINDELARAS-Institute for Rural Empowerment and Global Studies, Yogyakarta Post Date : 06 November 2004 |