|
Dua puluh tahun terakhir, ada yang hilang dari keseharian Wasidi (60). Bayan Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Sragen, Jawa Tengah, itu tak lagi memancing di Bengawan Solo yang mengalir tepat di seberang rumahnya. Tidak ada lagi ikan yang bisa dipancing. Semua menghilang sejak pabrik-pabrik dibangun di Palur, Solo, dan Kebakkramat, Karanganyar, kata Wasidi. Pabrik-pabrik yang dibangun pada pertengahan tahun 1980-an itu mengubah kehidupan warga Desa Pilang, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pabrik. Limbah berwarna-warni yang mengalir ke sungai itu bukan hanya mematikan ikan lele, bader, dan gabus yang hidup di sana, tetapi juga mematikan sumber air bagi masyarakat sekitar. Air sungai yang berwarna keruh kehitaman itu tidak lagi dapat digunakan, meskipun hanya untuk mandi dan mencuci. Hanya ikan sapu-sapu (Suckermouth)yang memang mampu bertahan hidup dalam kondisi ekstremkini hidup di sana. Setelah banjir menyapu Solo dan sekitarnya, akhir Desember lalu, barulah anak-anak kecil berani berenang di Bengawan Solo. Banjir membuat air tidak terlalu keruh. Anak-anak mulai berani berenang di Sungai, ujar warga lainnya. Desa Pilang sendiri sejatinya ikut menyumbang limbah ke Bengawan Solo. Sejak awal abad ke-20, desa itu dikenal sebagai desa perajin batik. Limbah batik dibuang langsung ke sungai, tetapi awalnya tidak merusak lingkungan karena pewarna kain yang digunakan berasal dari bahan alami seperti kayu soga. Industrialisasi batik mengubah potret perajin Desa Pilang. Agar bisa bersaing dengan batik pabrikan, perajin tradisional di Pilang terpaksa menggunakan pewarna sintetis. Limbah batik yang awalnya ramah lingkungan kini berubah menjadi perusak lingkungan. Bukan hanya Desa Pilang, hampir semua industri batik rumahan, tekstil, dan industri kimia yang tersebar mulai dari Kabupaten Sukoharjo hingga Karanganyar punya andil dalam kerusakan Bengawan Solo. Limbah kimia itu lalu bercampur dengan buangan rumah potong hewan dan sampah rumah tangga yang memang sengaja dibuang ke sungai itu. Maka, selain ikan sapu-sapu, tak ada lagi ikan jenis lain yang hidup di sana. Ikan sapu-sapu tahan berada di air berkadar oksigen rendah dan tercemar, sedangkan ikan jenis lain tidak, ujar MMA Retno Rosariastuti, pengajar ekologi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Air yang tercemar logam berat juga mematikan plankton dan bentos yang hidup di sungai. Organisme itu adalah sumber makanan bagi ikan. Karena plankton dan bentos mati, ikan pun pergi, kata Retno. Sungai kehidupan Akan tetapi, kondisi semacam ini ternyata di sisi lain juga memaksa masyarakat yang tinggal di sepanjang DAS Bengawan Solo untuk menyesuaikan diri. Mereka kemudian belajar menyiasati lingkungan yang kian tak ramah itu dengan beragam cara. Kemampuan beradaptasi memang menjadi penting jika mereka tetap ingin bertahan dan hidup berdampingan dengan bencana banjir. Tengoklah rumah-rumah lama di wilayah Kecamatan Maduran, Lamongan, Jawa Timur. Rumah-rumah lama tersebut umumnya memiliki balai-balai yang ditinggikan hingga dua meter, serta atap rumah yang bisa dibuka untuk evakuasi bila banjir sewaktu-waktu menimpa. Sungguh pun penurunan kualitas air terus terjadi akibat pencemaran yang marak sejak dari kawasan hulu, Bengawan Solo tetap menjadi tumpuan hidup ribuan warga. Terutama warga miskin yang tak punya pilihan lain selain tinggal di bantaran sungai. Kami mandi dan mencuci menggunakan air sungai. Kalau minum dengan membuat sumur di samping bengawan, kata Marseni (70-an), warga Desa Duri Wetan, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Ribuan warga juga masih menggantungkan diri dari air Bengawan untuk bercocok tanam dan budidaya ikan. Saat kemarau, kami biasa menggunakan pompa untuk menyedot air dari bengawan, kata Sulasih (45), petani dari Desa Compreng, Kecamatan Widang, Tuban, Jatim. Bahkan, bagi sebagian warga, saat Bengawan Solo meluap di musim penghujan pun masih menjadi berkah bagi mereka. Karena saat itu, Bengawan Solo mengirimkan pasir bagi penambang pasir, lumpur bagi pembuat batu bata, dan ikan bagi pencari ikan. Bengawan Solo, yang membentang lebih dari 500 kilometer itu kini mengalir hampa. Dia kehilangan sebagian fungsinya sebagai penopang kehidupan manusia. Akibat keserakahan manusia, sang Bengawan itu pun kini tak ubahnya kakek tua yang sarat memikul beban. (irn/aik) Post Date : 25 Januari 2008 |