|
Engga Dwi Zenia dan Septa Eka Pratiwi, Rintis Mesin Pengolah Sampah Bertenaga Angin Gending Juara lomba penulisan karya ilmiah remaja se-Probolinggo, Minggu lalu, untuk tingkat SMA diraih dua pelajar SMAN 4. Untuk tingkat SMP, juara diraih Engga Dwi Zenia dan Septa Eka Pratiwi. Dua siswi SMP Taruna Dra Zulaeha, Leces, itu menang berkat penelitian tentang teknik pengolahan sampah dengan memanfaatkan energi angin. Bagaimana? AGUNG WIDODO, Leces Di musim kemarau, sudah jamak jika Probolinggo dihempas angin Gending yang cukup kencang dalam waktu lama. Lama musim angin Gending itulah yang mengusik pemikiran Engga Dwi Zenia dan Septa Eka Pratiwi. Kedua siswi kelas IX SMP Taruna itu ingin angin Gending dapat dimanfaatkan sebagai media ramah lingkungan. Rumah Septa berada tak jauh dari sebuah tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Desa/Kecamatan Leces. Dia tertegun memandangi tumpukan sampah hasil buangan dari rumah tangga. Nalarnya bertanya akan diapakan sampah ini agar berguna?. Composting (pengomposan) langsung menjadi jawaban di benaknya. Pemikiran itu langsung dibicarakan dengan rekannya, Engga. Keinginan memanfaatkan angin bertemu dengan pengomposan. Hasilnya disepakati menciptakan alat pengomposan dengan memanfaatkan angin. "Rencana penciptaan alat itu kita bicarakan dengan Bu Atin (guru biologi -red). Kemudian beliau meminta kami merancang alatnya saja. Sedangkan teknik pengomposannya biar adik-adik kami yang meneruskan," terang Engga, putri kedua dari empat bersaudara dari pasangan Zainal Arifin dan Suci Dwi. Aksipun dimulai. Masa libur lebaran mereka manfaatkan untuk melaksanakan proyek itu. "Istilahnya kami ini lembur. Siang harinya mengerjakan alat, malamnya kita teruskan untuk menulis karya ilmiah itu," tambah Septa. Gadis yang bercita-cita menjadi dosen dan novelis itu mengaku bahwa selama pengerjaan alat itu mereka sama sekali tidak dibantu oleh teman-temannya. "Hanya beberapa guru yang mengarahkan bergantian, maklum lagi liburan," lanjut putri sulung pasangan M. Kabul dan Indayati itu. Dalam proses pembuatan alat, ide kreatif mereka terus berkembang. Konsep rancangan awalpun bisa berubah karena adanya penemuan baru. Septa berkata, "Ide-ide baru itu muncul sambil jalan. Misalnya, setelah kita coba ternyata putarannya kurang cepat akhirnya kita perlebar kincirnya, ide baru yang lain juga muncul seperti itu". Engga memaparkan selain dibantu oleh Abdul Malik, guru fisikanya, dia juga menggunakan beberapa buku referensi sebagai rujukan. "Diantaranya adalah Ensiklopedia dan Enstein Aja Ingin Tahu," tutur gadis yang berkeinginan menjadi pengusaha seperti ibunya itu. Sepuluh hari mereka perlukan untuk menyelesaikan alat pencacah sampah yang mereka sebut kincir penghancur sampah organik. Energinya murni dari kekuatan angin Gending yang bertiup kencang. Dari itulah kemudian mereka membuat karya tulis berjudul "Pemanfaatan Angin Gending Sebagai Penggerak Kincir Penghancur Sampah Organik Dalam Proses Pengomposan Alami". Setelah diuji coba, miniatur kincir penghancur sampah itu mampu mencacah 80 persen sampah organik. Belum sempurna memang, tapi hal itu sudah cukup meyakinkan mereka untuk maju sebagai salah satu dari dua kelompok yang mewakili SLTP Taruna dra Zualeha di ajang LKIR 2006. Hasilnya, juri memuji teknik, proses dan tujuan dari pembuatan alat tersebut. Gelar juara pertama berhasil mereka raih dengan menyisihkan 30 judul karya tulis yang lain. Prestasi juara ini merupakan yang pertama kali bagi mereka berdua. Baik Engga, Septa maupun Abdul Malik tidak ingin pencipataan alat lewat karya ilmiah itu hanya selesai sebatas pemberian hadiah. Malik berujar, "Karena ini hanya miniatur hasil ciptaan anak-anak, kita ingin ada yang merealisasikan dalam ukuran aslinya". Salah satu juri dalam LKIR, lanjutnya sempat menjanjikan untuk merealisasikan proposal mereka. Apalagi, dinas kebersihan dan lingkungan hidup (DKLH) Kota Probolinggo sedang gencar-gencarnya melakukan kegiatan kebersihan salah satunya pendidikan pengomposan pada masyarakat. "Adanya alat ini juga akan mendidik masyarakat agar semakin sadar untuk memisahkan sampah yang organik dan non organik. Proses pengomposan akan lebih mudah, karena setelah tercacah mereka tidak perlu membolak-balik kompos, karena alat ini sudah menyediakan tempatnya," tandas Septa. Menurutnya, alat sejenis sebenarnya sudah pernah ada. Namun, masih digerakkan dengan mesin. Jadi, bahan bakarnya justru tidak ramah lingkungan. Berbeda dengan alat bikinan dua siswi SMP Taruna Leces ini. Cukup dengan tiupan angin yang melimpah ruah di Probolinggo, alat sudah bisa bekerja. Wuss (*) Post Date : 22 November 2006 |