Ibu Kota Menyongsong Banjir

Sumber:Kompas - 11 November 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Ketika terjadi heboh penolakan warga Pondok Indah terhadap rencana pembangunan koridor bus transjakarta yang melintas di wilayah mereka, sebagian orang melihat itu hanya cerminan arogannya warga kelas atas Pondok Indah yang tak mau lingkungannya yang sudah tertata rapi diintervensi "untuk kepentingan umum yang lebih besar".

etapi, ada persoalan lebih besar dari sekadar persoalan arogansi di sini. Jakarta mengatasi satu masalah dengan mengundang malapetaka baru. Pondok Indah bukan satu-satunya. Kaukus Lingkungan Hidup mencatat, ada 52 titik wilayah resapan atau tangkapan air yang dialihfungsikan selama kurun 2006-2007, tanpa pemerintah mempersiapkan penggantinya.

Secara sistematis dan terstruktur, pemerintah menjadi aktor utama dalam penghancuran ekologi dan ekosistem Jakarta. Jakarta tengah menggali kuburnya sendiri, dan banjir yang semakin meningkat frekuensi dan intensitasnya adalah salah satu akibatnya.

Alih fungsi lahan secara progresif terus berlangsung, bahkan setelah terakhir banjir menenggelamkan 80 persen wilayah Ibu Kota pada Februari tahun ini. Padahal, tanpa ini pun Jakarta dengan posisi geografis dan struktur tanahnya sudah rawan banjir.

Dalam kampanye sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo menjanjikan untuk mengatasi banjir Jakarta, kendati ia mengakui banjir di Ibu Kota tidak akan dapat diselesaikan secara menyeluruh dalam lima tahun ke depan.

Orang banyak berharap ia akan membuat terobosan karena latar belakang ilmu perencanaan kota yang dimilikinya. Namun, kasus Pondok Indah dan beberapa kasus lain, dinilai pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo dan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Slamet Daroyni memunculkan kesan kuat, Fauzi hanya melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya.

Proyek jalur bus transjakarta yang melintasi Pondok Indah, menunjukkan dalam proyek-proyek Pemerintah Provinsi DKI sendiri pun, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) hanya jadi pelengkap.

"Jika proyek pemerintah saja seperti itu, bagaimana proyek- proyek lainnya? Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal jelas bahwa dokumen amdal adalah prasyarat untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan pembangunan. Ini amdalnya belum ada, kegiatan pembangunan infrastruktur sudah terjadi," ujar Daroyni.

Hariadi dan Daroyni juga mencatat inkonsistensi dari program- program pengendalian banjir yang dibuat oleh pemerintah, baik Pemprov DKI maupun pemerintah pusat. Sejak banjir besar tahun 2002, tidak ada langkah strategis yang implementatif di lapangan.

Contohnya, konsep Megapolitan serta berbagai aturan atau keputusan menyangkut penataan wilayah Bogor, Puncak, dan Cianjur dalam upaya mengatasi banjir dari wilayah hulu, baik dalam bentuk keputusan presiden (keppres), peraturan presiden (perpres), rancangan perpres atau aturan lain. "Tidak ada yang jalan sampai hari ini," ujar Hariadi dan Daroyni.

Berbagai gagasan untuk mengurangi sumber banjir di Jakarta juga hanya berakhir sampai gagasan. "Contohnya Ciliwung Bersih, sampai sekarang Ciliwung masih tumpukan sampah," ujarnya. Demikian pula janji normalisasi 13 sungai serta waduk dan situ. Menurut mereka, mandulnya semua prakarsa mengatasi banjir Jakarta adalah bentuk nyata kegagalan birokrasi pemerintah.

"Pola-pola penanganan banjir yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Gubernur Sutiyoso. Jadi tidak ada sesuatu yang baru yang dilakukan oleh Fauzi. Sampai sekarang tidak ada evaluasi terhadap penanganan banjir sebelumnya dan contingency planning menghadapi ancaman banjir yang akan datang. Kalau cara penanganannya tak jauh berbeda seperti tahun kemarin, bencana banjir akan tetap menjadi ancaman paling serius di Kota Jakarta," ujar Daroyni.

Kebijakan yang ditempuh pemprov, baik dari sisi penganggaran, kebijakan tata kota dan perilaku birokrasi, menurut Daroyni dan Hariadi, menunjukkan pemerintah tidak pernah belajar dari bencana-bencana banjir sebelumnya, dan tidak menunjukkan adanya keseriusan pemerintah untuk memprioritaskan penanganan banjir. DPRD bisa begitu gigih ngotot soal tunjangan gaji, tetapi soal banjir nyaris tak kedengaran suaranya.

Kondisi yang dihadapi Jakarta sebenarnya hanya ekses dari kebijakan Pemprov DKI yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang kualitas dari pembangunan itu sendiri. Pertumbuhan dicapai dengan menghancurkan lingkungan. Pembangunan mega-megaproyek besar yang mengabaikan keseimbangan tutupan lahan hanya salah satunya.

Sosio-ekonomis

Tetapi jelas Pemprov DKI bukan satu-satunya yang pantas dipersalahkan di sini. Banjir dan hancurnya lingkungan Jakarta bukan semata-mata karena kebijakan Pemprov DKI. Jakarta juga korban kebijakan pembangunan nasional yang terlalu berpusat di Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya.

Selain minimnya wawasan dan kepedulian birokrasi dan warganya pada lingkungan, bencana banjir dan pertumbuhan Jakarta yang cenderung tak terkendali hingga melebihi daya dukung ekologisnya tidak bisa dilepaskan dari fenomena urbanisasi yang diakibatkan oleh orientasi kebijakan pembangunan nasional ini.

Karena kemiskinan, puluhan ribu penduduksebagian besar pendatangterpaksa mengokupasi wilayah-wilayah resapan air dan menghuni bantaran-bantaran sungai. Ditambah kebiasaan masyarakat Jakarta yang suka menyampah, ini menjadi sumber penting penyebab banjir di Jakarta. Sekitar 40 persen dari 6.000 ton sampah yang dibuang lebih dari 12 juta penduduk Jakarta setiap harinya dibuang ke sungai.

Anehnya, upaya pengendalian banjir yang dilakukan pemerintah cenderung menekankan pada perbaikan infrastruktur semata dan mengabaikan faktor sosio-ekonomis ini. Banjir bukan datang secara dadakan, tetapi dampak dari salah urus ekosistem dan infrastruktur tata air perkotaan, dan kebijakan lain yang cenderung meminggirkan orang dan lingkungan selama berdekade-dekade.

Masyarakat hanya ditempatkan sebagai obyek pembangunan. Akibatnya, masyarakat juga cenderung merasa tidak berkepentingan untuk ikut menjaga lingkungannya.

Dalam kasus banjir, itu antara lain sangat kelihatan dari respons mereka yang cenderung berusaha mencari selamat sendiri-sendiri, antara lain dengan berlomba-lomba meninggikan rumah untuk mencegah banjir masuk ke tempat tinggal mereka. Mereka yang miskin tak punya pilihan lain kecuali beradaptasi dan berkompromi dengan banjir yang setiap kali mampir.

Sampai sekarang, tidak jelas peran pemerintah pusat dalam ikut memecahkan problem Jakarta, termasuk persoalan banjir ini. Salah satu contohnya, komitmen pendanaan Rp 9,5 triliun untuk 10 tahun guna mengatasi banjir Jakarta, yang sampai sekarang tidak jelas tindak lanjutnya.

Pascabanjir besar 2002, pemerintah pusat melalui Bappenas juga menganggarkan dana Rp 15 triliun untuk mengatasi banjir Jakarta dalam 10 tahun, atau Rp 1,5 triliun per tahun. Namun, reaksi publik waktu itu sangat negatif terhadap rencana ini. Mereka menduga dana ini akan kembali di korup oleh oknum pemerintah seperti terjadi pada proyek-proyek lain sebelumnya. Akibatnya, nasib program tidak jelas.

Pada 2007, kembali berembus dugaan manipulasi dana pembebasan lahan untuk Banjir Kanal Timur. Lamban dan korupnya birokrasi membuat masyarakat pun semakin kehilangan kepercayaan dan keyakinan pada kemampuan dan keseriusan pemerintah untuk mengatasi banjir Jakarta. Sri Hartati Samhadi



Post Date : 11 November 2007